scales

Batas Terluar Bermain Outside

Posted on Updated on

Kármán Line

Berikut ini adalah copas dari post FB yang rencananya nanti akan dilanjutkan dibahas di blog.

Dito Musicman

Shared with Public

Post semacam ini sebenarnya cukup overkill untuk dipajang di FB gini. Tapi berhubung ini subject seru yang nyambung sama avoid note kemaren, dan toh sebagian musisi akhir2 ini juga lagi relatif berkurang kesibukannya, maka nggak ada salahnya nyoba pushing my luck, just in case ada yang antusias ngerespon, even if via japri.

Ini adalah update khotbah terhadap post lama dari Oedin Oodeen, yang nampaknya dulu disetujui oleh the maestro Andrie Tidie himself :

Setelah intense petakilan dan pecicilan kesana kemari, saya sekarang bisa nyoba nambahin teori advanced harmony tentang maen outside, yang bisa disampaikan/diajarkan via text doang, or bisa plus notasi kalo mau beneran komplit-plit mau dianalisa. Pada dasarnya, konsep advanced harmony di level yang tergokilnya sekalipun sebenernya konteks penerapannya nggak tak terbatas. Doi bisa keliatan jelas batasan terluarnya bagi yang eksplore beneran. Untuk dapetin gambaran utuhnya, disini readers musti pada mau nyoba baca rada panjang, nyikat semua perspektif biar bisa beneran paham n nggak nanggung.

Basic teorinya adalah kombinasi dari (1) prinsip hubungan figurasi melody dengan harmony, yang dah berlaku sejak era Baroque, termasuk juga ornamentasinya. (2) Fakta bahwa harmony adalah sebuah fenomena dalam waktu, yang bisa dinyatakan dengan akord maupun melody (sering disebut dengan linear harmony). Dan (3), kenyataan bahwa untuk bisa maen outside, dari awal sistem bermusik musti terdapat kontras antara inside-outside, memiliki semacam gravitasi untuk ngebedain antara napak vs ngambang. Sistem harmony yang dibikin dari full chromatic, atonalism n semua variant temen2nya nggak bisa ngasih efek inside-outside, jadi mereka diluar cakupan bahasan.

Dari point no (3), maka kita tau kalo kita bakalan ngadepin scales, minus chromatic scale. Nah total jumlah scales ini, kalo dimasukin semua exotic n artificial/kombinasi dari semua sets kan bakal ada banyak bener tuh. Lha kok bisa2nya saya nekat bilang nggak tak terbatas? Apakah saya mau kabur sambil nyodorin daftar scales super nerdy nya Ian Ring? Don wori, saya dah pernah nulis kalo saya kaga demen teori2 abstrak yang relatif nggak ada demand nyatanya oleh audience awam di lapangan.

Dari teori yang saya anut, total ada 5 batasan/syarat untuk sebuah scale (any scales) agar bisa digunakan untuk dapetin kontras dan gravitasi dalam bermusik, yang dilihat berdasarkan intervalnya. Ada 3 aturan yang mengacu pada nyanyian Maria di ‘The Sound of Music’ (1965) yang bilang kalo “Ti” akan membawa kita kembali ke “Do”, yang artinya menggunakan half-step or semitone sebagai interval dengan kecenderungan gaya gravitasi besar, lalu non-semitone sebagai kontrasnya. Scales disusun berdasarkan 2 hal kontras itu dengan aturan :

(a) Tidak ada interval semitones yang muncul berurutan. (b) Jarak ANTARA scale degree yang bersebelahan harus satu atau dua semitones. (c) Jarak ANTAR scale degree 3rds harus tiga atau empat semitones.

Dan untuk scale yang anhemitonic (nggak punya half-steps macam pentatonik), aturannya (d) Jarak ANTARA scale degree yang bersebelahan harus dua atau tiga semitones. Dan (e) Jarak ANTAR scale degree 3rds harus empat atau lima semitones.

Dengan filter diatas, dan difilter lagi dengan set theory (bahwa pentatonic adalah subsets dari diatonic), maka total scales yang bisa dipake untuk bikin kontras inside-outside cuman ada 7 : acoustic, diatonic, octatonic, whole-tone, harmonic minor, harmonic major, dan hexatonic, berikut semua variant modes dan subsets nya.

Dari masing2 scales itu kita bisa bebas numpukin not n bikin system harmony sendiri, dan tetep masih bisa dapetin efek inside-outside. BTW, sebenernya masih ada beberapa scales lagi yang bisa disodorin macam blues dan bebop, yang walopun melanggar point (a) tapi pada dasarnya karakter scale degreenya nggak sama rata. Salah satu semitone yang berurutan adalah hasil dari ornamentasi, yang dalam hal ini bisa dijadikan special case, rada beda sama misalnya Hungarian Gypsy scale dengan ^#4, ^5 dan ^b6.

Nah setelah bahan2nya komplit, berikutnya saya harus nulis contoh cara masaknya. Tapi karena versi idealnya seharusnya rada panjang, jadi mendingan nanti ta tulis di blog aja biar lebih pas tempatnya. Intinya adalah, dalam durasi waktu sebuah fenomena harmony berlangsung, MINIMAL SETENGAH DARI DURASINYA HARUS dinyatakan dengan maenin chord tone, dan chord degree 3rd (or 2nd or 4th, tergantung system harmony yang lagi dipake) HARUS MUNCUL (*). Mereka kaga harus dieksekusi secara bersamaan ataupun berurutan ataupun di beat tertentu (dalam divisi apapun). Sementara itu untuk sisa durasinya, kita bisa maen bebas, boleh maen scales berdasarkan key (or apapun system gravitasi yang dipake), ataupun sengaja keluar dari scale (outside).

Untuk soloing dengan sikon dibacking oleh pengiring yang maenin harmony, maka kewajiban untuk maenin minimal setengah dari durasi tadi gugur, pilihannya dah langsung boleh superimpose maen scales vs keluar scales. Untuk efek kontras yang maksimal, pilihannya adalah chord tones vs outside scale, sebuah prinsip dasar yang semua jazzer mainstream demen.

Perihal lokasi di subdivisi beat ke berapa chord tones musti nongol, klasifikasinya sebenarnya dah ada komplit sejak era Baroque. Kalo dari perspektif keyboardist untuk solo playing, total ada 21 type kombinasi. Didalamnya ada arpeggio yang subdivisi beatnya hanya diisi oleh chord tones, ada juga beberapa type appoggiatura, dll. Nanti kapan2 kalo pas sempet ini bakal ta towel sedikit di blog.

(*) Ada special case dimana mereka bertiga bisa absen dan digantikan oleh 7th (maj or min or dim).

tl;dr Pada dasarnya kaga ada teori apapun yang bisa ngalahin kemampuan hearing yang ok dan taste personal dalam hal inside-outside, karena doi berhubungan langsung dengan sense n kreativitas. Tapi dah jadi tugas theorist untuk mencoba menjelaskannya secara sistematis supaya bisa dipahami orang awam dan para pelajar. Teori diatas adalah salah satu pendekatan utama yang saya pake untuk diskusi.

Silakan kalo ada educator or music enthusiast yang mau komentar or nambahin.

Intinya adalah, dalam durasi waktu sebuah fenomena harmony berlangsung, MINIMAL SETENGAH DARI DURASINYA HARUS dinyatakan dengan maenin chord tone, dan chord degree 3rd (or 2nd or 4th, tergantung system harmony yang lagi dipake) HARUS MUNCUL (*).

Ione D’Flo
Yesssssss….klo udh ma maztah yg kultum wajib d dgrin ini mah..
· Reply ·

Author
Dito Musicman
Seiring berjalannya waktu n intense ngulik, most players do fine, otomatis bisa ngerasain kapan outside n inside cuman pake feeling doang. Tapi feeling kaga bisa dijelasin pake text n susah diajarkan dikelas. So teori ini salah satu usaha untuk bisa secara sistematis mendiskusikan fenomenanya dengan orang lain.

Silakan Wan, kalo ada opini original versi D’flo..
· Reply ·

Author
Dito Musicman
Dan kalo kita ngomongin multiple lines yang outside, itu dah diluar kapasitas feeling lagi, karena kuping kita nggak bisa fokus ke 2 ato lebih note yang nongol independen bersamaan. Salah satu mungkin bisa kita dengerin, tapi lainnya musti dieksekusi secara otomatis dibelakang layar. Teori ini bisa bantu otomatisasi itu.
· Reply ·

Ione D’Flo
Dito Musicman naaaaaaahhhhh itu sudaah mas..ak kdg geli mas liat maksa bgt main outside smp g liat target notx lg..yg penting “miring”…yg ad malah fales…
· Reply ·

Author
Dito Musicman
Ione D’Flo Berarti orangnya mencoba nerapin teori tanpa ngedengerin hasilnya. Padahal personal sense bisa ngalahin teori apapun yang ditulis oleh siapapun.

Pada dasarnya prosedur standar untuk ngajarin outside ada 3 : passing notes (or chord), neighbour tones (or chord), dan appoggiaturas (yes, ada versi chordnya juga!) Kita tinggal geser2 lokasinya di beat yang berbeda untuk dapetin efeknya soal gravitasi n gaya tarik harmony-nya. Kalo dah advanced, bisa dibikin kombinasi dan layering dari ketiganya, trus dimasukin chromaticism. Kalo dilihat dari target, beberapa notes bisa aja berfungsi sebagai passing notenya passing note (chromatic line), or appoggiaturanya incomplete neighbour, dll.

Bagi yang pengen tau lebih lanjut, silakan belajar ke D’Flo. Bagi yang pengen tau konsep hirarki harmony dalam musik, bisa cek teorinya Schenker yang jadi pondasi sekolah2 kita. Dan yang ogah sama translasi bahasa Inggris, don wori nanti rencananya point2nya akan ditowel di blog.
· Reply ·

Oedin Oodeen
Ione D’Flo 😀
· Reply ·
Write a reply…

Author
Dito Musicman
Salah satu diskusi yang menarik di japri barusan adalah bagaimana sebagian temen2 yang otodidak masih memahami soal scale n modes secara –bisa dibilang– salah kaprah. Kita tau kalo blues progression bisa disikat seluruhnya pake sebiji blues scale n bunyinya baik2 aja mau maen kumaha manehna sekalipun, asalkan nggak kelamaan pewe di ^b5. Tapi itu bukan berarti lantas di progresi lain dengan beda konteks semuanya bisa dibabat dengan sebiji scale untuk keseluruhan progresi tanpa peduli harmony n gravitasinya. Scale itu cuman alphabet aja, doi meaningless tanpa grouping untuk membentuk kata n kalimat. Kita nggak menyampaikan sesuatu yang bisa ditangkap readers kalo sekedar nulis random alphabet.

Pendekatan yang lebih universal ke sebanyak2nya konteks system harmony sebenernya lebih ke pendekatan struktural. Di FB, Om Andrie Tidie udah sering kampanye sejak dari 10 taun lalu. Melody n improvisasi pada dasarnya adalah pengembangan dari harmony yang bisa dinyatakan dengan chord, inversinya dan ornamentasinya. Pendekatan ini jauh lebih ok karena bikin gravitasi n note2 amannya lebih jelas lokasinya, kalo nyasar pun bisa langsung balik.
· Reply ·

Pada dasarnya prosedur standar untuk ngajarin outside ada 3 : passing notes (or chord), neighbour tones (or chord), dan appoggiaturas (yes, ada versi chordnya juga!)

Bersambung..

How Far is Too Far? Hubungan Antara Academia & Industri Musik Hari Ini

Posted on Updated on

Igor Stravinsky

“I consider polytonality complete nonsense. They want none other than to learn the laws of chaos — it is madness.”

– Stravinsky, stand against serial atonality (1926)

Semua sekolah musik n konservatori pada kompak ngajarin bahwa komposer2 musik jadul itu keren2. Mereka selalu jadi referensi di kelas komposisi, n dipelajari tiap individual not nya, sampe ke dinamikanya, penafsiran timingnya, dst. Tapi, sayang sekali sebagian prinsip2 bermusik mereka nggak bisa di terapkan di industri modern –at least– dengan sesimpel itu. Contohnya yang kita semua tau, atonal serialism secara estetis ditolak oleh publik manapun, dan hari ini cuman bisa survive di film2 untuk mengekspresikan 2 hal doang : kecemasan dan misteri, which is kita sebenernya juga bisa santai ekspresikan juga lewat perspektif traditional centricity, pake (neo)tonal/modal/synthetic harmony dengan sekedar ngasih dosis chromaticism lebih tinggi, or bisa juga dikombi pake symmetrical scales. Lha wong even Schoenberg himself itu akhirnya juga balik ke centricity lagi kok.

Arnold Schoenberg

Musik adalah bunyi yang diatur/terorganisir, dan definisi ini memang bikin atonal serialism memenuhi kriteria untuk disebut musik. Tapi musik dari serial atonality secara objective belum –dan nggak akan pernah– bisa didengerin orang, karena pengorganisasian bunyinya nggak memenuhi syarat untuk bisa dipahami. Doi eksis almost pure hanya untuk alasan experimental, dan hanya berguna sebagai contoh dari sebuah system untuk dianalisa.

Kita tau pemahaman manusia untuk sebuah bahasa dipengaruhi oleh pengulangan dari kata2 menggunakan syntax untuk membentuk kalimat, dan dari keteraturan form. Dan karena musik itu diklaim sebagai sebuah bahasa universal, maka pemahamannya juga punya kemiripan dengan pemahaman bahasa, lewat pengulangan dari melody, harmony, dan cadence. Supaya lebih artistik n nggak boring, dari pengulangan2 itu kita juga bisa dibikin personal/customized musical syntax dan form, seperti halnya custom syntax pada judul2 berita or pilem, dan form2 dari puisi. Mereka ditulis nggak pake tata bahasa baku, tapi toh pembaca masih tetep paham maksudnya. Ada berbagai pilem bagus dengan plot kompleks n penyampaian yang nggak masuk akal, tapi toh viewers tetap bisa menikmatinya dan bisa dapetin gambaran besarnya secara implisit. Sebagian orang justru menganggapnya itu adalah penyampaian yang lebih “artistik”. Coba cek Mr. Robot, Black Mirror, dll.

Mr. Robot

Diskusinya :

Sebagian standar pendidikan musik hari ini emang nggak nyambung sama industri nya?

 

Argumen : Sayang sekali, hari ini orang yang paling ngerti n jago musik nggak serta merta jadi tokoh kunci di industri. Para educator pun nampaknya cuek terus ngajarin detil hal2 yang bakal susah diterima dan berkontribusi langsung di industri hari ini. Kemungkinan ini karena dulunya mereka sendiri diajarin untuk mempelajari segelondongan standar materi yang relatif sama turun temurun. Jadi sekedar mengulang tradisi dan cenderung kurang fleksibel pada perubahan tren industri. Kalo ini disodorin ke Nadiem Makarim, mungkin kampus2 bakal berhenti ngajarin atonal serialism (n beberapa konsep “random” nonsense lainnya), dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih seru buat komunitas, misalnya komposisi spontan berdasarkan set theory, dengan nerapin tradisi voice leading! Nah lo..

Counter-argument : Sebenernya selalu ada industri di semua jenis musik, cuman beda skala aja. Memang ada sih yang begitu kecilnya, sehingga kata “industri” dirasa kurang tepat digunakan. Tapi yang begitu kecil marketnya ini justru punya peranan besar secara intelektual, jadi para educator tetep punya alesan valid buat terus ngajarin.

Masyarakat penikmat musik pada makin kurang “musical”?

 

Argumen : Industry disetir oleh market, dan selera sebagian besar orang hari ini terhadap musik “keren” emang menurun. Teknologi, tren, dan lingkungan sosial kita dah bikin kita sibuk terhadap banyak hal secara relatif bersamaan. Kegiatan intense seperti menyimak musik perlahan digeser menjadi sekedar mendengar bunyi musik (sebagai latar aktivitas, ceritanya biar nggak sepi2 amat. Jogging hari ini nggak cukup dengerin jangkrik doang, ngantor nggak cukup dengerin klakson doang, musti nyetel Iron Maiden or OST Anime).

Counter-argument : Audience is king, jadi mereka nggak bisa disalahin mau pake alesan apapun. Kalo audience demen ‘Baby Shark’ dan cuman dipake untuk aerobic, maka itulah standar musical audience. Lebih dari itu bakalan overkill. Lagian, hal yang menarik dari musik di sisi showbiz nya adalah, doi bisa dibangun dari ide2 yang supersimpel yang nggak butuh teori apapun. Asalkan si musisi puas dengan delivery-nya, maka bakalan selalu ada audience yang beresonansi untuk mengapresiasi. BTW, nggak perlu malu joged campursari n ngaku Sobat Ambyar, wong itu fusion dari tradisi musik kita sendiri.

Didi Kempot

If kita mau kampanye musik “keren”, haruskah kita aktif blusukan buat ngajarin point2 yang bikin sebuah musik itu “keren”?

 

Argumen : Dibelahan bumi yang relatif damai n sedikit konflik, minat orang terhadap seni memang cenderung lebih baik. Tapi pendidikan tentang high art seringkali relatif susah diakses, salah satunya karena alasan finansial. Sharing2 di internet n youtube emang dah sedikit membantu, tapi masih blom cukup untuk membuat high art (kembali?) menjadi mainstream. Beberapa hal yang bisa memicu trend adalah kemudahan akses, kemudahan untuk dipahami dan seru untuk dishare/digossipin. Kalo sampe ada aktivitas rutin terbuka untuk masyarakat untuk ngajarin apresiasi musik, maka para musisi bakal demen karena makin banyak audience yang mampu menikmati musik “keren”, dan audience pun bakal pada demen karena makin bisa ngerti musik yang katanya “keren”. Win-win!

Counter-argument : Kagak perlu. “Keren” itu relatif. Terbentuknya global pop culture juga dipengaruhi regional culture sebelumnya. Standar jaman berubah, definisi2 juga bisa fleksibel ngikut. Lagian, sesuatu jadi lebih bernilai karena punya sejarah panjang dan populasinya yang langka, maka biarkanlah musik yang “keren” itu terus jadi minoritas untuk menjaga nilainya. Toh kita liat masyarakat pada enjoy2 aja. Yang mau ngulik lebih jauh karena pop dirasa nggak mencukupi seleranya, ya silakan.

Belajar musik formal sampe mentok-tok untuk memberikan kontribusi yang lebih besar kepada masyarakat adalah hal yang sia2?

 

Argumen : Musik adalah bagian dari seni yang menyampaikan ekspresi/pesan dengan bunyi yang terorganisir. Selama kita dah bisa berekspresi sesuai keinginan, maka nggak perlu kita harus sampai mempelajari hal2 lain diluar misi utama, hanya karena sekedar untuk dapetin pengakuan. Toh sebagian ilmunya lagi2 (hypotetically, if any) hanya berguna di ruangan kelas tanpa beneran berkontribusi secara musical ke audience awam di lapangan. Dan toh “penemuan” or “breakthrough” di musik –or art pada umumnya– memang relatif beda manfaatnya dari penemuan bidang lain, misalnya penemuan bohlam, arus AC/DC, 5G, AI, nanotech, Aica Aibon, dll.

Counter-argument : Motif utama dari belajar musik sampe mentok memang lebih cenderung untuk memenuhi keinginan pribadi untuk menjadi komplit n meminimalisir blindspot (misalnya, musiknya Prokofiev hanya bisa dianalisis dengan ok kalo menggunakan kombinasi beberapa teori. Paham sebiji teori doang bakalan bikin blindspot terhadap musik2 yang berada diluar cakupannya). Saat dah mentok, kita jadi lebih mantap berkreasi sebebas mungkin, n mampu menjawab (rationalize) sebanyak2nya pertanyaan tentang musik, sehingga nggak ada celah keraguan sedikitpun pas nepuk dada ngaku musisi, baik secara intelektual maupun emosional. Bagi yang dah mentok n komplit, bikin buku berjilid2 membahas berbagai aspek soal 5W 1H dari musik seharusnya bisa segampil nulis status or bikin selfie. Lebih gampil untuk composing n performing dengan stabil tanpa dipengaruhi mood. Dari situlah kita punya kapasitas berkontribusi lebih besar ke masyarakat.

Sergei Prokofiev

Nah, pertanyaan terbesarnya di taro terakhir : Apakah kita perlu kuliah n punya degree lebih tinggi di untuk bisa sukses di musik?

 

Jawaban tl;dr nya tentu saja adalah kagak. Kalo ngomongin sukses di finance n fame, coba liat ada begitu banyak pop/rock star sejak dulu yang nggak punya degree apapun di musik. Dan malahan ada sebagian anak muda (terutama yang rada close minded) dengan misi hanya pengen jadi rock star yang pada kecewa dengan materi2 yang diberikan kampusnya pas kuliah. Ini ada beberapa argumen untuk memperjelas perspektif :

Pertama, jelas konsep sukses itu relatif n personal : beda orang, beda definisi n target pencapaian. Sukses kuliah tentu saja ukuran normalnya adalah memahami n menguasai sebanyak2nya hal tentang musik. Perkara dapetin followers, gebetan, dll, itu dah lain soal.

Kedua, secara umum ada perbedaan yang jelas antara tingkat edukasi vs tingkat intelektual. Sebagian orang bisa aja punya macem2 degree tapi kontribusinya ke masyarakat tetep kaya orang idiot, ilmunya cuman dipake buat nyari celah buat dapetin keuntungan pribadi dan cenderung mengorbankan kebaikan yang lebih besar. Contoh yang paling jelas yang semua orang tau ada di bidang politik. Tapi kalo kita mau buka mata lebih lebar n upgrade radar, hal semacam itu juga bisa terjadi di bidang2 lain pembentuk peradaban, termasuk musik. So, tingkat intelektual lebih utama daripada tingkat edukasi.

Ketiga, sepanjang sejarah blom pernah ada musisi yang musicality nya dipertanyakan hanya karena nggak punya sertifikat, sebagaimana penumpang kereta yang didepak karena nggak punya karcis. Penerimaan or pengakuan kemampuan musisi normalnya didapatkan lewat audisi, or dari rekomendasi oleh tokoh2 musisi yang berpengaruh, or dari besarnya manfaat aktivitas bermusiknya bagi masyarakat. Sertifikat musik hari ini cenderung hanya dibutuhkan di situasi institusi sekolah musik untuk kualifikasi jadi pengajar, dimana audisi nggak memungkinkan (n nggak praktis) untuk mengukur pengetahuan, pemahaman, n wawasan musik seseorang.

BTW, ada juga musisi muda yang iseng make sertifikat untuk nakut2in musisi lain. Well, dalam seni terutama yang melibatkan showbiz, kita mustinya lebih takut pada kebanggaan yang tidak perlu terhadap ketidaktahuan yang tidak disadari.

The Legendary Barry Harris

Anyway, walo standar patokan di masyarakat tentang sertifikat musik umumnya begono, tapi selalu ada aja hal2 di dunia yang jadi pengecualian. Dalam beberapa dekade terakhir, salah satu pengecualian yang terkenal adalah Barry Harris, seorang educator senior yang sengaja nggak aktif perform untuk fokus ngajar, diburu semua kampus didunia untuk sesi masterclass dari konsepnya perihal ‘6th diminished’. Beliau nggak punya sertifikat apapun, tapi wawasan n musicalitynya memang super gokil, sepantaran dengan para jazz legends. Di situasi beliau ini, sertifikasi nggak lagi dibutuhkan. Berdasarkan contoh ini, bisa disimpulkan bahwa pada akhirnya satuan2 ukuran yang digunakan untuk dunia seni memang serba subjective.

Kalo dulu, kisah yang terkenal ada yang namanya The Five (5 komposer paling terkenal era Romantic di Russia, termasuk didalamnya Balakirev dan Rimsky-Korsakov). Mereka adalah para musisi yang otodidak, yang malah sengaja menghindari standar kampus demi untuk dapetin style Russian yang independent dari pengaruh sistem barat. Mereka bahkan sempet berantem sama Tchaikovsky yang aktif bermusik n mengajarkan tradisi barat di Russia. Untungnya kemudian seiring waktu, The Five akhirnya bisa menerima keterbukaan sambil tetap terdengar khas Russian. Even Rimsky-Korsakov juga akhirnya jadi dosen yang ngajarin tradisi barat di kampus Russia. Well, nampaknya emang susah membendung pengaruh dari peradaban yang lebih maju.

Rimsky-Korsakov, composer dari Flight of the Bumblebee

Nah, balik lagi, pertanyaan lanjutan yang mungkin nongol adalah, bagaimana “legalitas” musisi untuk bisa nekat pede ngaku musisi? Trus bagaimana orang awam bisa mencapai level musical yang cihuy kalo nggak pake sekolah/kuliah? Apakah kita bisa mencapai tingkatan The Five dengan sama2 otodidak?

 

Untuk ngaku musisi, umumnya kita cuman butuh 2 hal : kemampuan musical yang diakui oleh audience n community, dan bisa dibuktikan dengan bisnis musik (ada aktivitas finansial untuk mengapresiasi kemampuan musik kita). Nah jalan untuk mendapatkan mereka cukup fleksibel, dan hari ini kalo mau dimaksimalin, kuliah adalah rute tercepat untuk bisa mendapatkan keduanya. Kuliah (yang ok) bakal bikin kita jadi musisi yang kompeten, yang bakal diakui oleh audience dimanapun, trus mereka juga akan otomatis menghubungkan kita ke pelaku2 industrinya.

BTW, kampus musik ada banyak hari ini, n kita bisa milih yang paling sesuai sikon n target kita masing2. Kita pertimbangkan biaya dan kesempatan2 yang bisa didapatkan darinya. Nanti setelah mantap pilih salah satu, untuk dapetin hasil yang maksimal, kita musti mau nyemplung sedalam2nya, lupakan serial Cinta Fitri, Netflix, Drakor, misi namatin Death Stranding, RDR2, dll. Kalo somehow kita masih ragu sama program2 n kurikulum2 kampusnya, or belum nemu yang pas, dan kitanya merasa bisa mengembangkan semuanya sendiri tanpa butuh sertifikatnya, maka kita bisa aja bikin rute alternatif untuk nyampe target setara. Tentu saja butuh disiplin tingkat Super Saiyan untuk mendapatkan hasil yang relatif setara dari kuliah, plus kita nya musti beneran demen musik sampe segitunya, dan tanpa paksaan, supaya bisa menikmati terjalnya pendakian sampe puncak. Di rute ini, internet akan sangat banyak membantu karena ada banyak sekali resources yang nggak bisa didapatkan 20 taun lalu. Dengan kata lain, untuk jadi musisi otodidak hari ini relatif lebih mudah daripada 20 taun lalun. Walo begono, standar kampus pun ikut meningkat, jadi kita musti beberapa kali lipat lebih giat karena tetep aja harus nyari materi sendiri, nyari konteks sendiri, troubleshooting sendiri, problem solving sendiri, dan menguji diri sendiri.

Note : Kuliah dah otomatis nyodorin itu semua ke kita, dengan system yang teruji n standar kualitas. Dikasih tau (mungkin lebih tepatnya dipaksa harus paham) tentang berbagai prinsip musik dari hampir semua musisi besar sepanjang sejarah sampe dengan perkembangan industri sekarang dipastikan bakalan bikin wawasan kita jauh lebih luas daripada nyari2 info sendiri lewat perpus, nanya2 senior, or kelayapan di internet.

Ibarat mendoan anget dah tersaji, yang harus kita lakukan cuman tinggal lep.

Yummy!

Setelah informasi n kompetensi didapet –baik secara formal atau non-formal– hal berikutnya adalah membuat bisnis dengannya. Networking adalah salah satu manfaat otomatis yang didapetin kalo kita ambil rute kuliah. Sementara itu, networking kalo pake rute otodidak bakal selalu jadi pilihan yang kurang menguntungkan karena kita musti gerilya jumpalitan dengan gigih untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Kalo dari segi manfaat ekonomi, di level puncaknya bisa dibilang kita bakal ngeluarin biaya tuition yang nggak sebanding sama demand dari dunia industri untuk sebuah high art yang hanya sekian persen populasi dunia mampu dan mau mengapresiasi. So kuliah dibidang lain dengan target steady job non freelance adalah pilihan yang berdasarkan statistik lebih ok kalo dari segi economic reward. Makanya, kebanyakan musisi berdegree tinggi ilmunya cenderung lebih bermanfaat secara ekonomi di dunia edukasi (non freelance), daripada via karya seninya (freelance).

Walo begono, seperti yang dah ta tulis sebelumnya, belajar musik sampe mentok (rute tergampil via kuliah) itu bakalan bikin kita jadi musisi yang lebih komplit, semakin memperkaya perspektif n wawasan, n lebih kompeten untuk berkontibusi membangun peradaban, dll. Dan sertifikasinya bakal banyak bantu bagi yang pengen explore ke sisi psychology/science/math dari musik. So, edukasi musik jelas terus berkontribusi besar bagi pembangunan peradaban sampe era sekarang.

Update ide diskusi dari seorang reader, 30/12/19 :

Apakah karir di musik industri hari ini adalah luck-based?

 

Argumen : Berbeda dengan industri2 kebanyakan yang seringkali mukul rata semakin menghargai kedalaman pengetahuan terhadap disiplin ilmu nya dengan kompensasi finansial, di industri di musik yang begonoan bisa dibilang grafiknya bukan perbandingan lurus. Kita tau penggerak industri adalah aktivitas finansial. Yang lebih dibutuhkan industri adalah orang2 yang mampu menginspirasi orang banyak via musik, relatif terlepas dari pengetahuan pribadinya terhadap ilmu bermusik pada umumnya. Sampe pada titik tertentu, kita emang perlu ilmu n skill untuk mencapai kesepakatan standar industri. Tapi selebihnya itu urusan subjective n seringkali malah overkill, mengingat sebagian musik hari ini cenderung hanya diliat sebagai latar doang, dan kebanyakan musisi datang dan pergi begitu cepat.

Counter-argument : Not really. Luck itu kesannya terlalu random. Mungkin lebih pas kalo pake term probability-based. Orang yang dah belajar musik mustinya lebih mampu memperkirakan apa yang audiences inginkan, dan bisa melihat musik sebagai produk layaknya semacam tools or perkakas yang bisa dibikin sesuai demand. Di industri, para musisi bukan lagi bermusik untuk ekspresi pribadi, tapi bikin produk untuk dikonsumsi sebanyak2nya publik. Musiknya nggak harus mewakili personality si musisi. So, semua musisi yang punya fleksibilitas bakal punya chance lebih tinggi untuk beradaptasi di industri. Kalo di pilem, ibarat Johnny Depp yang bisa maen macem2 vs Steven Seagal yang gitu2 doang. Ilmu di musik akan membuka fleksibilitas dan chances.

Johnny Depp

Trivia n sekilas tokoh2 keren dunia edukasi yang tulisan2nya bisa bantu menginspirasi :

 

  • Berklee dulunya bernama Schillinger House yang berasal dari Joseph Schillinger, seorang mathematician/music theorist/composer/educator, yang ngajarin Gershwin, Benny Goodman, n musisi2 serem lainnya, termasuk Lawrence Berk yang bikin Berklee.
  • Sementara itu, Juilliard disupport oleh Nadia Boulanger seorang composer/educator dari Perancis, n ngajarin Aaron Copland, Elliot Carter, Barenboim, Philip Glass, Quincy Jones, n musisi2 yang superserem lainnya.
  • Russia? Ada banyak nama2 komposer yang juga merupakan theorist dari berbagai generasi, terutama sejak era romantic. Untuk era modern, Yuri Kholopov, seorang theorist/musiclogist/educator dari Moscow Conservatory bisa jadi rujukan utama. Beliau punya pendekatan synthesis yang cukup bisa menjelaskan musiknya Prokofiev, yang normalnya nggak bisa dijelasin pake pendekatan Schenker, Teori Transformasi (Neo-Riemannian n pan-modality) n Set Theory secara terpisah2.

Sedikit tambahan, beberapa hal yang bisa disimpulkan setelah ngider kesana kemari selama beberapa taun :

 

  • Mau setinggi apapun tingkat pemahaman kita di dunia musik, radar kita bakalan selalu nangkep bahwa ada banyak banget musisi yang super-duper serem dimana2, dan mereka sebagian besar bisa juga terlihat super rapi bagaikan perwakilan dubes suatu negara. Waspadalah wahai para musisi pemula n audience awam yang masih mengira kesereman musisi bisa diukur dari penampilannya (misalnya yang keliatan jelas, kaya jeans-sobek-rambut-gondrong-shredding-sana-sini. No offense). Bisa jadi orang yang terlihat culun yang lagi duduk di sebelah kita adalah musisi serem yang males2an buat nongol di radar. Or, radar kita yang masih terlalu culun untuk bisa mendeteksi frekuensi keberadaan mereka. Intinya, ini serius beneran, jangan percaya stereotype, dunia itu luas banget, para musisi bisa aja lebih serem daripada keliatannya.
  • Salah satu fakta yang akan kita dapatkan ketika belajar musik secara komplit adalah, betapa subjective-nya musik itu bagi semua orang. Even if seandainya Kufaku jadi hits no 1 di dunia selama beberapa dekade, maka theorist n standar edukasi global akan berusaha mencoba menjelaskannya dari berbagai sisi kenapa itu bisa terjadi, musically, supaya orang2 bisa mengapresiasinya di level yang lebih dalam, mampu mereplikasinya, or bikin sesuatu yang baru berdasarkan prinsip2 nya. Karena subjectivitas itulah, kebanyakan orang merasa cukup untuk mempelajari musik sebatas hanya untuk mendalami seleranya masing2 aja, dan itu juga emang dah cukup untuk jadi modal utama bersaing masuk liga utama di industri.

vocalist microtonal dari Kufaku

  • Disisi lain, orang2 dengan pemahaman luas soal musik akan lebih bermanfaat secara maksimal di ruang kelas sebagai guru/dosen/educator, karena mampu menjawab sebanyak2nya pertanyaan2 dari music enthusiast. Untuk berekspresi secara fisik, mereka bisa juga menggunakan kemampuannya untuk aktif di studio, maen session, n berkontribusi di komunitas lokal. Mereka sebenarnya secara teknis jelas berkompeten untuk ikutan nyemplung di liga utama industri, tapi mereka umumnya relatif terlalu santai untuk bersaing buat dapetin spotlight karena ada begitu banyaknya hal2 menarik dari musik yang bisa mereka lakukan.
  • Ngotot bener salah dalam bermusik adalah sesuatu yang sangat konyol. Dan konyolnya, saya sendiri dulu pas awal belajar teori juga pernah terlibat kekonyolan itu dalam beberapa forum diskusi musik. Heheh, darah muda, harap maklum.
  • Karena karakternya yang subjective, “teori musik” sebenarnya bisa juga disebut dengan “musik menurut”. Jadi “teori musik by Paijo” bisa disebut “musik menurut Paijo” Ini juga berlaku untuk orang lain including Phytagoras, Al Farabi, Guido Arezzo, Rameau, Schenker, Schoenberg, Bartok, Hindemith, Riemann, Slonimsky, Forte, Straus, Schillinger, Kholopov, Caplin, Gjerdingen, Tymoczko, Terefenko, Yamaguchi, dst, sampe ke Ian Ring, n gitaris kita Ery Setyo! Mereka nggak dipahami sebagai “teori yang ditemukan oleh (X), dijadikan kitab suci keramat oleh ummat musisi sedunia”. Mereka masing2 menggunakan pendekatan personal yang berbeda untuk menjelaskan fenomena2 yang serupa dan saling terkait. Mempelajari sebanyak2nya teori akan menambah wawasan dan pemahaman kita tentang musik.
  • Ini adalah contoh2 yang paling terkenal dari perbedaan perspektif dalam teori : octatonic scale bisa dideskripsikan sebagai susunan not dengan interval bergantian antara 1/2 step dan 1 step, atau sebaliknya. Doi juga bisa dibilang terbuat dari 2 buah akord dim7th berjarak perfect 5th. Doi juga bisa juga dibikin dari 2 buah akord Fr+6 berjarak perfect 5th. Bisa juga dibikin dari sebuah chromatic scale dikurangi sebuah akord dim7th. Hexatonic scale terbuat dari 2 buah aug triad berjarak perfect 5th. Whole tone scale terbuat dari 2 buah aug triad berjarak yang maj 2nd. Thelonious Monk dikenal menganggap akord half dim sebagai akord minor dengan 6th di bass, or min6 inversi ke 3. Liszt B minor sonata bisa dilihat sebagai sebuah movement dari sonata form berisi exposition-development-recapitulation-coda, or bisa juga 3 buah movement dari sonata form berisi first movement-slow movement-finale. Berbagai perspektif yang berbeda2 ini akan berguna di berbagai sikon yang berbeda, sebagaimana konsep soal enharmonic. Maka dari itu, pelajaran berikutnya setelah tau basic nama2 not dan berbagai konsep2 harmony adalah tentang perspektif dan konteks. Dah, itu doang sampe mentok studi. Lha coba aja diamati, wong kita dah beberapa abad cuman dikasih 12 notes doang tapi bisa menghasilkan begitu banyak variasi musik.

Perspectives

  • Hafiz Osman dari IMDI publish ‘Akor Jazz’ yang menggunakan pendekatan Schenker di sikon jazz. Ery Setyo juga dah 10 taun on-off riset untuk publikasi lanjutan dari ‘Guitar Robot’ berdasarkan set theory yang di kombinasikan dengan konsep parsimony n symmetry dari Pat Martino. Belakangan doi ngaku sibuk merembet masukin konsepnya Ian Ring, trus biar komplit ta sodorin sekalian konsepnya Yamaguchi. Entah update berikutnya nanti bakal melar segede apaan, heheh. BTW, kalo ada yang berminat untuk nekat mencoba publish teori sendiri, coba pantengin dulu jurnal2 musicologist, n debat2 nya di berbagai publikasi. Nanti teori yang survive dari debat n argumennya dianggap masuk akal bakalan diadopsi oleh kampus2 sebagai standar materi. 3 teori analisis yang paling banyak digunakan sekarang adalah Schenker (tonal), Teori Transformasi (structural, non-tonal) dan Set Theory (yang mampu menjelaskan musik non-structural n non-tonal, tapi bisa juga dipake untuk musik structural n tonal diliat dari perspektif gruping n combinatorics, yang asalnya dari dunia matematika). Teori2 analisis lainnya yang nongol belakangan kebanyakan menggunakan 3 itu sebagai dasar dari argumennya. Ada juga perspektif baru dari 1 dekade kebelakang yang layak ditowel disini karena cukup berkontribusi pada dunia improvisasi, sampe Carl Schachter n Edward Aldwell ikut masukin ke edisi terbaru dari ‘Harmony & Voice Leading’, yaitu ‘Galant Schemata’ dari Robert Gjerdingen yang membahas klasifikasi idiom2 dari musik era classical menggunakan figured bass yang diliat dari sudut pandang Italian School (Naples).
  • Dalam hal struktur musiknya, bisa disimpulkan modern jazz adalah hasil fusion dari hal2 terbaik yang ada di musik2 era sebelumnya. Skema harmoni andalannya (ii-V-I) berasal dari era awal tonality (baroque). Parsimony chromatic voice leading n konsep substitusi berasal era romantic. Modality dan penggunaan exotic non diatonic scales berasal dari era impressionism. Non tertian harmony (quartal, quintal, dan secundal), konsep superimposisi upper structure (polychord) berasal dari era awal modernism. Beberapa theorist keren yang jadi referensi berbagai kampus diantaranya Mark Levin n John Mehegan. Sayangnya, jazz seringkali bukan hidangan utama dari kampus2 n konservatori musik. Salah satu sebabnya mungkin karena emang lebih susah menganalisa n ngajarin sesuatu yang secara turun temurun diajarkan secara oral tanpa script.
  • Alasan lainnya adalah, walopun sering di asosiasikan dengan improvisasi dan maen outside, sebenarnya jazz nggak sebebas yang orang2 kira. Untuk bisa maen jazz sesuai tradisi mainstream, kita paling tidak harus memenuhi 3 syarat : Steady tempo dengan swing feel, struktur tonal harmony yang kompleks dengan penekanan root pada bass, dan adanya konsep avoid note. Sebaliknya, classical musik malah justru nggak se-kaku yang orang2 kira, n cakupannya justru lebih luas dari jazz. Di classical, kita bebas bermusik pake prinsip2 jazz yang dikombi dengan tempo rubato, menggunakan berbagai system harmony dengan inversi2nya, n bebas maen2 pake set theory. Mungkin satu2nya yang tabu di classical adalah penggunaan syncopation di tradisi Baroque. Disitu diharamkan mengaksen not 1/16 ke 2 dari sebuah beat (“e” pada “1-e-and-a”, or “ke” pada “ta-ke-di-mi” bagi yang belajar subdivisi dari musik carnatic India).

Jazz

  • Alasan lainnya lagi adalah, semua yang terdapat di jazz bisa dibilang juga ada di classical musik. Improvisasinya juga ada, n relatif lebih seru, tapi cukup berbeda doktrinnya. Karena jazz sering dieksekusi secara social (jamming), maka doi menggunakan struktur lagu yang berulang2, lalu kita sekedar dikasih space untuk bikin rute yang fancy dari point A ke point B. Di classical, pendekatannya lebih mirip kaya kita maen Lego. Kita diberikan beberapa not sebagi motif or theme, untuk kemudian bikin sebuah komposisi spontan berdasarkan not2 tersebut. Versi classical ini jelas lebih susah daripada jazz, karena kita musti nambahin berbagai not disana-sini, masing2 sertai pertimbangan konteks-nya. Sementara di jazz, struktur n konteksnya dah tersedia tinggal nyambung2in not2 doang. Classical itu beneran luas, sampe bisa dibilang semua konsep bermusik dari semua teori, asalkan masih menggunakan 12 not per oktav itu bisa di eksekusi di lingkungan classical. Dan sebegitu bebasnya di classical, sampe pas kita mempelajarinya bakalan disodorin materi bermusik pake konsep random notes (atonal serialism n indeterminism). Trus bahkan uniknya ada juga musisinya yang bermusik cuman pake silent, dah gitu dijual pula lagu n partitur nya (cek the famous John Cage’s 4’33).
  • Untuk mencapai keseimbangan dalam hidup, kita seringkali musti bisa jawab pertanyaan “how far is too far?” dalam berbagai hal. Dalam bermusik dari tradisi barat, batasan pribadi saya sejauh ini adalah serial atonalism n indeterminism. Bermusik yang hanya menggunakan unsur acak dipastikan selalu gagal diterima audience umum di semua era, sejak sebelum prasejarah sampe sesudah kiamat. Nggak ada audience normal yang dengerin musik pake kaca pembesar, dengan misi untuk mengapresiasi betapa keren pilihan not acaknya. Improvisers normalnya nggak perlu buang2 energi, waktu n duit buat mempelajarinya. Walo begono, konsep2 avant garde n experimental musik berdasarkan cells n symmetry masih punya peluang untuk kepake.
  • Sebagian besar theorist modern menguasai bermacam2 konsep pendekatan dalam bermusik. Masing2 konsep ini begitu luas sampe bener2 dipastikan nggak mungkin semuanya mampu untuk secara fisik diterapkan dalam permainan musiknya sendiri. Hasilnya, theorist jaman now beda sama jaman dulu. Theorist jaman dulu itu merangkap sekaligus komposer n performer karena secara konseptual lingkup materi musiknya masih relatif kecil. Nah jaman now, saking luas bahasan musiknya sampe antara teori-komposisi-performance nggak bisa lagi dipush maksimal bersamaan. Makanya sekarang ada banyak musisi yang khatam teori or jago composing macem2 tapi nggak beneran secara fisik jago untuk maen musik. Sebaliknya, ada juga banyak orang yang jago maen musik yang cuman tau basic theory, n dasar2 komposisi doang.

How Far is Too Far?

  • Keyword yang paling ok kalo mau ngulik musik sendiri adalah, mencoba mamam berbagai subject dengan parameter “cukup menarik, sekaligus tidak terlalu sulit dilakukan”. Hal yang nggak menarik nggak akan bikin kita termotivasi. Hal yang terlalu sulit bakal bikin frustasi. Hal yang terlalu gampil bakal bikin bosen. Bagi yang ambil rute otodidak, pastikan kita selalu open mind n tertarik untuk nyobain explore ke area yang seluas2nya. Dengan begono selisih sama rute akademis pada akhirnya bisa diminimalisir, sampe ke beda soal sertifikat doang.
  • Ngeberesin studi musik sampe mentok bisa dibilang hal yang susah, even if semua variabel disekitar kita mendukung penuh sekalipun. Untuk memotivasi, kita sebaiknya jangan berpatokan kepada betapa berat perjuangan untuk mencapainya, tapi pada betapa keren sensasi pencapaiannya dan hal2 yang bisa kita lakukan saat berhasil mencapainya.
  • Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang. Stay hungry, stay young, stay foolish, stay curious, and above all, stay humble!

Technique, Speed Playing & Shredding

Posted on Updated on

shredder-shredding

Setelah nyenggol Bebop n Rocksteady (ya anggap aja udah, wong semua orang bisa maen steady beat), sekarang tiba waktunya nyenggol boss mereka :

Shredder!

Ini emang rada nyimpang dikit dari seri Classical Music Fundamentals, tapi GPP, ceritanya refreshing n revisiting guitar chapter sejenak. Sebelum ke shredding, ada baiknya tuk nyenggol teknik n speed playing secara umum dulu :

Teknik

Teknik adalah cara kita mengeksekusi sesuatu.

  • Dalam music playing, dengan mengetahui prinsip dasar dari teknik maennya, bisa bikin orang bisa maen musik. Dan yang nggak tau dasar tekniknya, nggak akan bisa maen. Teknik ini walopun punya beberapa variant resmi (school), tetapi basic filosofinya sama, yaitu cara terefisien yang bisa digunakan secara umum untuk maen. Nah kalo udah bisa maen, lalu apa yang mau dimaenin? Kalo definisi diatas adalah teknik sebagai cara fisik kita untuk mengeksekusi bunyi, istilah teknik juga bisa mencakup cara kita memilih notes :
  • Dalam improvisasi, komposisi n orkestrasi, dengan mengetahui prinsip dasar dari cara kerja harmony (teori) dan device (or ide), bisa bikin orang berkreasi secara musical dengan lebih ekspresif, dan juga mengapresiasinya. Dan orang yang nggak tau prinsip dasar ini, mungkin masih tetep bisa berkreasi via trial n error. Tapi proses ini terlalu tedious untuk jaman instan macam sekarang ini. Info-info di blog ini bisa bantu tuk jadi remedy.

Kenapa explorasi di 2 jenis teknik ini penting?

  • Speed Playing! Tentu saja, cara tergampil untuk bedain orang bisa or kagak (terlepas dari aspek musicality nya) adalah dengan melihat kecepatannya. Orang bisa lari or kagak diliat dari kecepatan. Orang bisa berenang or kagak diliat dari kecepatan. Orang bisa ngetik or kagak diliat dari kecepatan. Semua orang cenderung bisa eksekusi apapun dengan pelan, even bagi yang masih ngetik pake 11 jari sambil nyari lokasi huruf, pada akhirnya bakal bisa nulis sesuatu. Tapi definisi ini beda dengan ‘bisa’ yang dibahas disini, karena di musik punya parameter time n groove. Semua orang bisa maen akord CAGED (walo misalnya tiap akord butuh semenit untuk memposisikan jari), cuman kagak semuanya bisa maen groovy, in time, dan in context. Speed playing juga bisa digunakan untuk mengukur efisiensi dari teknik seseorang, karena speed playing mustahil dieksekusi dengan brute force. Kalo nekat, berarti siap – siap tuk cidera serius, or bahkan memungkinkan tuk cacat permanen yang bikin kita cuman bisa pasrah jadi audience seumur hidup.
  • Biar kita bisa maen banyak musik dari berbagai gaya. Tentu saja bakal boring tuk maenin C – Am – Dm – G ke C lagi dengan pola yang sama berulang – ulang. Dengan explore n menambah vocab tentang comping, kita bisa eksekusi dengan style yang macem – macem, dan mengkombinasikannya untuk bikin permainan kita selalu fresh, walo akordnya masih sama. Dan kalo masih kurang, kita bisa study teori n improvisasi untuk melakukan twisting secara personal, in real time, di akord yang masih sama dengan hasil yang musical. Maen impro a la aransemen Dirty Loops bukanlah hal yang impossible kalo udah paham sampe tahap ini.
  • Lebih nyambung sama banyak musisi. Tentu saja jadi musisi otodidak bukanlah hal yang tercela, tapi kalo kita bisa punya vocab yang cukup banyak dan memahami istilah – istilah baku, kita bisa lebih nyambung ngobrol sama berbagai pihak yang berasal dari berbagai kalangan, dari anak komunitas grunge sampe dengan pemain classical. Buat performers, ini berarti kesempatan jobs jadi tambah luas.

Dan bonusnya, kalo mau ente juga bisa aktif sharing info n nekat nulis blog konyol macam ini Juragan!

dirty-loops-henrik-linder
Henrik Linder of Dirty Loops

 

Gimana cara explore-nya?

Salah satu cara paling cepat n efektif tuk explore adalah dengan selalu mencari lingkungan yang membuat kita bego. Gaul sama musisi/guru yang jauh lebih musical adalah salah satu cara efektif untuk membuat kita bego. Sekalinya kita kira – kira udah sepantaran or lebih pinter, cari lagi lingkungan laen yang bikin kita bego. Kita pan kagak mungkin pinter di semua hal (even dalam musik), jadi explore ini mirip hidup kita masing – masing, sebuah perjalanan tanpa henti.

Speed Playing

Speed playing bisa kedengeran dari musik berlatar apapun, kagak cuman rock n heavy metal doang. Bagi pembaca yang berlatar Country Music dan European Jazz (Gypsy Jazz) tentu udah pada nyengir – nyengir pas baca ini. In fact, dalam speed playing secara teknikal mereka bisa dibilang lebih advanced daripada musik rock n semua variant nya yang melibatkan kompresi (dari distortion amp/pedal), karena pemaen country n gypsy bisa mengeksekusi sama kencengnya dengan dinamika yang rapi, tanpa bantuan kompresi. Terlebih lagi, khususnya pemaen gypsy, mereka udah terbiasa maen dengan tradisinya menggunakan gypsy guitar (dengan konstruksi yang rada beda dari traditional acoustic guitar) dengan senar heavy dan action yang cukup tinggi.

Bagaimana mungkin mereka bisa melakukannya?

Dengan teknik yang bener, almost semuanya possible. Form dari picking hand pemaen country dan gypsy cenderung  beda dari form traditional  di electric guitar untuk blues, funk, jazz, rock n metal, dll. Country players make finger picking, dan gypsy player make floating wrist untuk power n speed picking. BTW, ane kagak akan ngebahas lebih detil perihal individual technique nya, karena bisa menjerumuskan ane tuk lanjutin guitar chapter. Silakan explore sendiri  or cek ke guru n sekolah musik masing – masing aja untuk info lebih jauh.

Disisi lain, tanpa mempertimbangkan faktor latar musiknya, speed playing bakalan cenderung lebih sering kedengeran dimainkan oleh ABG s/d awal usia dewasa.

Alasannya bukanlah faktor musical, tapi cenderung usia.

Fast-and-Furious-7-Production-Release-Date-Delay-Paul-Walker-Death

Unless pembalap pro, di event pro, di sirkuit pro dan di pilem, kita bakal jarang liat orang yang udah berumur kebut – kebutan di jalan. Beda sama ABG, mereka cenderung baru ngerasain bisa ngebut untuk pertama kalinya, it feels fun, dan diulang – ulang terus, di tiap kesempatan. Kagak jalan tol kagak jalan tikus, kalo sepi, gas poool! Perkara konteks, urusan entar, penting having fun duluan. ABG pan punya kecenderungan anti kemapanan, kalo berandal baru macho n keren.

Sayangnya, cuman sebagian kecil dari pembalap amatir ini yang nantinya naek level jadi pembalap pro. Musically speaking, pembalap pro ini berarti musisi yang memerlukan kecepatan sebagai bagian dari musik yang dijualnya secara professional. Untuk sampe ke tahap ini, kita perlu paham konteks dari kecepatan dalam musik yang kita mainkan. Untuk paham konteks kita perlu explore, dan untuk explore kita perlu quality time. Siapa yang punya quality time ditengah era distractions sekarang ini?

Berhubung lingkungan sangat berpengaruh untuk perkembangan musik kita, jauhilah gamers dan komunitas nya.

“To, FF XIII besok direlease di PC loh, official!”

“Bodo!”

“To, MGSV Desember tuh, dah siap – siap DDR4 sama SSD blom?”

“…”

“To, Keith Jarrett bikin masterclass loh!”

“Hah, serius lo?”

 

Keith Jarrett
Keith Jarrett

Anyway, sebagian besar musisi sebenernya bisa speed playing tanpa musti jadi pembalap pro.  Rata – rata pemaen senior (yang biasanya diremehin para speedy n flashy  junior players) dulunya pas jadi junior juga cenderung doyan ngebut. Mereka cenderung kagak  ngebut lagi karena itulah cara yang paling efisien (baik untuk nyetir, dan untuk menyampaikan ide musical). Sesekali ngebut in context is fine, pas nyetir kita juga perlu sesekali ngebut untuk nyalip tronton yang ban nya ngegeol.

Sebenernya usia bukan penentu saklek, doi cuman kecenderungan, sama kaya hubungan antara usia dan kedewasaan. Kebanyakan senior cenderung lebih dewasa dalam memahami musik, karena secara alami, pemahaman musik itu memang perlu waktu n pengalaman. Ada sebagian kecil musisi junior yang udah ngerti prinsip musik dan konteks penggunaanya dalam tradisi. Orang – orang yang begono lah yang disebut berbakat. Walo begono, kagak ada yang bisa ngalahin waktu n pengalaman dalam teknik tuk eksekusi. Banyak bocah yang ngaku bisa maenin musiknya Yngwie Malmsteen (the icon tea), dan sekilas keliatan keren karena yang maen bocah, tapi musically, tetep aja eksekusinya masih sangat jauh dari level Yngwie Malmsteen.

 Shredding

Bagi yang merasa udah bisa shredding, yang sehari-harinya ngeshredd pagi-siang-sore-malam, dan sekarang lagi boring maen gitar, coba maen lagu pop (or yang lagi ngetop) n fokus pada detil dinamika n groove-nya. Di musik, ada jauh lebih banyak hal keren daripada sekedar shredding tok. Maen cepet itu biasanya banyak detil yang terlewat, mirip ngebut dijalan, kita nggak akan tau kondisi kiri – kanan dengan detil. Lokasi pom bensin, pangkalan taxi, nama-nama toko, lewat semua kalo pas ngebut. Sebagian besar gitaris kehilangan makna dari filosofi “maen gitar” saat udah bisa shredding, dan menganggap speed linear playing adalah segalanya. Obat bagi yang terkena gejala ini, bisa coba maen pelan dan nikmati perjalanan sambil liat kiri – kanan, n sesekali ngerem n berhentin bentar ngasi orang nyebrang. Nah kalo pas lagi di jalan tol n kebelet pipis, hajarlah itu pedal gas sampe mentok. Sesuai sikon adalah cara yang jauh lebih fun n colorful untuk bermusik. Dan karena sikon tiap orang tidak pernah selalu sama dan berubah tiap hari (even orang itu lagi di pengasingan or penjara sekalipun), maka musik bisa lebih asik, dan variatif.

Kenapa speed bukan segalanya?

Sebagian besar pemain pro, any instrument, bisa maen speedy dengan kadar yang masuk kategori shredder, terlepas dari maenan sehari-harinya. Contoh tergampil-nya  adalah para pro-level session players. Technically n musically, mereka sebenernya jauh lebih serem daripada keliatannya. Jangan percaya kalo mereka cuman ngaku tau pentatonik doang. Itu jelas kagak cukup tuk bekal hidup jadi pro-session players, walopun sebenernya  kalo sekedar buat bluffing di komunitas junior cukup manjur. Salah satu nama yang cukup high profile di dunia gitar adalah Steve Lukather (Toto).

 

luke
Steve Lukather

Para session guitarists almost selalu punya karakter yang versatile dan well rounded dari semua aspek, baik secara technical, musical, maupun personal. Walo begono, bagaikan grafik di Winning Eleven, mayoritas gitaris session kagak ada yang skillnya mentok max semua di berbagai aspek, even para gitarist yang dianggap dewa-dewa di panggung G3 sekalipun, selalu ada kompromi, terdapat sisi kuat dan lemah. Tiap pemain cenderung punya preferensi tertentu, terutama berkaitan dengan gaya musik dan vocabs beserta teknik-teknik pendukungnya. Tentu ini adalah hal yang wajar. Mayoritas orang cenderung dig in spesifik ke 1 style tertentu yang bikin mereka jadi rocker, or jazzer, or blueser, or country player, or classical player. Fusion bikin batasan tiap style jadi lebih fleksibel, walopun dari term secara global, doi kurang lebih cenderung mewakili kombinasi dari jazz dan rock, tok. Secara faktual dilapangan, sebenernya berhubung formula dan prinsip musik non-traditional itu asalnya dari Classical, maka semua genre yang disebut tadi sebenernya bisa dikombi satu sama lain.

Perihal combi all genre ini juga bahkan berlaku untuk blues (yang notabene bukan berasal dari European Classical). Hampir semua info study tentang blues yang beredar hari ini dan digunakan oleh sebagian besar sekolah musik adalah adalah versi westernized-nya. Semua musik yang dimaenin dengan instrument yang menggunakan western music based tuning n pitches, otomatis ngikut system asalnya, western system. Dengan begono, exotic scales yang dipelajari para shredders itu sebenernya kagak akan bunyi otentik exotis beneran tanpa make instrument non-western. Or minimal kalo tetep make western based instruments, frekuensi tuningnya musti menyesuaikan dari versi asli exotic scales nya.

Kembali tentang shredders dan kombi-topic tentang genres n styles, ane bisa merekomendasikan 1 nama yang mungkin kagak max di semua skills, tapi paling nggak beliau cukup jelas kedengeran diatas rata-rata, bisa maen di semua style dengan otentik, beserta versi shredding dari tiap style :

Eng ing eng (drum rolls)..

Mang Jupri Goban (plesetan versi Betawi dari Guthrie Govan)!

Guthrie_govan
Mang Jupri

Sebenernya ada beberapa kandidat kuat lain yang cukup high profile dari background shredder, yaitu Ron Thal dan Buckethead, tapi ane cenderung milih Mang Jupri karena beliau bisa optimal versatile dengan gear yang minimal (cek klinik beliau era pra-Suhr endorsement, pas cuman make PRS n Cornford Amps doang, santai maen anything dari traditional blues, country, jazz sampe shred metal dengan otentik, cuman dengan manipulasi PU switch, knob volume + tone, dan built in booster pedal dari amp). Yang menariknya nih, dari berbagai interview, beliau berkali-kali menyatakan justru khawatir dengan “new generation shredder movement”. Shredding is just one thing, tapi yang terpenting tetep musiknya. After all, musik lah yang membedakan bahwa seorang gitaris itu musisi beneran, ato cenderung atlet (Yoi, cek guiness record speed picking).

Mang Jupri juga dikenal udah explore berbagai macam teritory di gitar’ dan dapet semua essence-nya. Walo begono, sampai dengan info terakhir yang ane ikuti, yaitu antara setelah beliau resmi release 2 seri Charvel-nya dan sesaat sebelum make Victory amps (ampli gokil dari Martin Kidd, mantan designer Cornford Amps yang bunyinya maknyus tea), beliau belum pernah kedengeran maenin traditional classical. Hal ini udah sempet sekilas ane selidiki kebelakang, sampai ke jaman demo prototype ‘Wonderful Slippery Thing’ awal taun 90 an. Tapi berhubung beliau bisa maenin dengan santai ‘Man In The Mirror’ (Michael Jackson) versi Tuck Andress, maka seharusnya genre Classical bukanlah big deal.

Explorasi dan versatility adalah sebagian alasan kenapa ane switch instrument ke piano. Berbagai prinsip musical sejak era awal yang menjadi dasar terbentuknya harmony musik hari ini tentu bisa diicipin dengan piano, dan bonusnya, bunyi dari macem-macem instruments bisa disikat di kibor (dengan sedikit kompromi disana sini). Saat switch instrument, daftar subjectnya tiba-tiba jadi sangat-sangat luas banget. Hal-hal yang baru kalo diliat dari background gitaris diantaranya adalah : Readingnya ekspansi sampe 2 – 4 part (treble n bass clef n SATB), nyikat lines counterpoint tanpa kompromi dan berbagai permutasinya (masing-masing dalam 3 versi, oblique kayanya kagak usah diitung), berbagai style impro tambahan (baroque, classical, stride, ragtime, dll), self accompanying impro (bye-bye looper pedal), sustaining  note(s) via pedal, close (n chromatic) voicings chords, poly-chords (dengan voicing sesuai imajinasi), poly-rhythm, dll. Untuk saat ini, banyaknya menu yang musti diicipin ini bikin ane makin jarang tuk sempetin ngecek blog, email, FB, dll, minimal sampe sekitar setaun kedepan. Jadi buat yang pertanyaan, or messages di inbox-nya lama di reply, harap maklum.

Wejangan


“Sredang sreding sredang sreding.. Ane blom bisa shredding nih!”

Don wori, sebenernya doi jauh lebih gampil daripada keliatannya. Basicnya, shredding adalah sekedar ngebut. Dan seperti semua yang ngebut dengan ok (tanpa benjut), kita musti bisa dulu maenin versi normal (santai) nya, in control. Mungkin “in control” adalah keyword-nya.

Berikut tipsnya :

Ini yang paling penting : relax, santai bagai lagi dipantai.


“Gile lu To, mana bisa ngebut sambil relax, yang ada juga deg2an!”

Kemungkinan besar, Yngwie Malmsteen kagak bakal bisa ngebut nonstop (almost) selama 3 jam dalam tiap konsernya kalo 1-2 lagu maennya tegang. Bagi gitaris non-shredder yang cuman sekedar pengen sesekali maen cepet, mungkin fine aja tuk rada tegang pas ngebut, tapi para shredder beneran bisa maen cepet (dan lama) sambil tetep bernafas normal. Keadaan relax ini juga sangat berbengaruh terhadap stamina bagi shredders, dan juga mencegah cidera serius jangka panjang macam tendonitis dan carpal tunnel syndrome. Di salah satu instructional video tentang picking, Mang Jupri bisa melakukan tremolo picking dalam normal picking position, tanpa batas durasi. Silakan di search videonya.

Stay di normal picking position saat tremolo picking sebenernya bukanlah hal yang termasuk yang gampil tanpa dilatih sebelumnya. Untuk eksekusi tremolo picking, sebagaian besar gitaris umumnya otomatis switch ke strumming position dengan postur yang beda dari normal picking position (untuk normal solo single lines), umumnya posturnya jadi nekuk kedalem mirip picking hand EVH saat tremolo (cek video solo ‘Eruption’) karena itu cara yang umumnya tergampil (floating wrist, rotation dengan sedikit bantuan dari elbow).

evh
EVH’s tremolo picking

Info dari para pemain mandolin (sodara deket gitaris yang demen maen tremolo), idealnya picking hand bisa berada stay di 1 posisi yang nyaman untuk semua jenis tugas picking, dari single lines tremolo sampe strumming, dengan hanya perubahan minimal sekedar untuk mengakomodasi lokasi senar 1 sampe 6. Nampaknya Mang Jupri himself juga cenderung menggunakan pendekatan ini. Ini bikin picking jadi effisien untuk semua tugas picking, termasuk untuk maenin macem-macem style. Filosofi dari cara ini adalah :

Eksekusi di 1 senar (single lines, tremolo picking) sebenernya sekedar versi minimal dari eksekusi di banyak senar (strumming), so make sense kalo kita sebenernya cuman butuh 1 form of picking untuk simplifikasi.

Dan tetep, dalam eksekusinya musti relax, santai bagai dipantai. Sehubungan dengan relax, berikut ada 4 state dari otot :

  1. Dead : Kagak ada kontraksi otot apapun whatsoever.
    Contoh tergampil : Binatang yang mati, dan nama binatangnya bukan cicak (ekornya bisa autopilot goyang dombret).
  2. Tense or tegang : Kontraksi otot yang menyebabkan kaku dan menghambat kemampuan untuk bergerak. Ini adalah kondisi killer di music playing dan kalo dipaksakan dengan berulang kali, doi potensial tuk bikin cidera/cacat permanen. Ciyus!
    Contoh tergampil : Minta gitaris non-shredder tuk speed picking/tremolo di max speed lebih dari 10 detik. Kondisi picking hand-nya bisa dipastikan tense.
  3. Movement : Kontraksi otot yang menyebabkan gerakan tanpa tense. Ini adalah target utama yang dilatih tuk music playing.
    Contoh tergampil : Orang mraktekin Tai Chi Chuan.
    Contoh terekstreme : Mike Mangini’s  Single Stroke WFD World Record : 1203 per minute (Sekitar 20 per detik).
  4. Tonus : Passive standby tension. Doi kagak menghambat kemampuan tuk bergerak sedikitpun, justru karena karakter standby nya, doi membuat kita lebih gampil bergerak, jadi katalis. Doi super important dalam relaxed playing.
    Contoh tergampil : Otot rahang. Kalo kagak ada tonus, doi bakal mangap dan susah ngomong. Sebagian emak – emak di mall yang cerewet n doyan ngegossip itu kagak pernah mengeluh rahangnya cape/pegel.

 

 

mike mangini
20 not per detik, 1203 not per menit

State no 3 dan 4 itu yang kita gunakan tuk musical activity, dengan sejauh mungkin menghindari state no 2. Kalo sampe ngalamin state no 1, yah apa boleh buat, wayahna.

Dan kalo keterangan – keterangan diatas masih kedengeran absurd, penjelasan lanjutannya adalah :

Repetisi, repetisi & repetisi..

Yoi, again, again & again! Dengan mengulangi dengan tempo pelan dan relax, kita akan membangun yang namanya muscle memory, semacam program reflex dari suatu pola eksekusi. Pola eksekusi ini merupakan vocabs bagi muscle memory, doi bisa ditambahkan terus sampai pada akhirnya mencapai tingkat independence (langsung bisa maenin variasi pola baru secara instinctive tanpa musti dilatih dulu sebelumnya, karena kemiripannya dengan berbagai pattern yang kita udah kuasai. Sangat berguna tuk patternless n surprise impro). Fungsi tambahannya adalah untuk bisa menemukan kombinasi yang paling efisien antara jumlah otot yang aktif dan yang passive dari suatu pola gerakan. Idealnya, gerakan ditekan seminimal mungkin tanpa ngorbanin dinamika n accent, dengan jumlah otot yang aktif yang juga minimal, dan tetep dalam relax state.

Goal utama dari relax n repetisi adalah : memilih otot-otot yang paling efisien untuk eksekusi dan menon aktifkan otot lainnya, sebanyak mungkin.

Coba melakukan repetisi dari sebuah pola, secara fokus dan in-time, selama beberapa jam per hari disertai permutasinya. Hampir dipastikan dalam beberapa hari (or maksimal minggu, kalo pola yang diulang cukup panjang), langsung kedengeran jelas peningkatan speednya. Naikin metronom, ulangi prosesnya, terus sampe mentok tembok, kembali ke step 1 tuk efisiensi, dst. Coba nonton pilem ‘Edge of Tomorrow’ (2014) – starring Tom Cruise, buat dapetin gambaran detil dari prinsip repetisi. Keywordnya adalah kembali ke relax, dan painless playing (“no pain, no gain” tidak bisa diartikan secara literal dalam music training or playing or any musical activity, dan bahkan in living sekalipun).

Nanti ada waktunya ketika kita udah melakukan ribuan jam latihan dengan relax n repetisi tapi tetep aja kagak ada kemajuan lagi. Ini berarti ada 2 kemungkinan, antara kita emang udah mentok, ato kita salah memahami istilah relax n repetisi saat eksekusi. Kalo udah ribuan jam latian tuk shredding tapi blom bisa maen sekitar 9 not/detik dengan super clean, itu berarti kita salah latian, or kagak efektif. Logikanya, semua orang  kalo latian dengan BENER, asalkan bisa maen dengan relax dan efisien, PASTI bisa shredding kalo mau, even dieksekusi make form/posture yang bermacam-macam (termasuk yang dibilang secara akademis salah, macam picking hand nya Marty Friedman or make strap sepanjang Slash).

Nyikat dengan santai picking lines 9-10 not per detik kayanya udah masuk kategori shredding (not 1/16 di 150 – 160an BPM), sementara shredder top macam Paul Gilbert & John Petrucci mungkin bisa stretch sampe 12-14 note per detik (limit di Rock Discipline adalah 200 BPM, not 1/16 chromatic). Cukup worth tuk dicapai kalo musik kita emang butuh speed sampe setingkat itu. Country players mungkin bisa lebih dari itu (karena melibatkan finger picking) dan cenderung lebih kedengeran musical (karena musiknya berasal dari tradisi tonal, maka mindsetnya lebih ke harmony, voice leading, n chordal fragment form).

BTW, jangan lupa selalu warming up dulu sebelum melakukan hal-hal yang akrobatik.

2 hal diatas adalah pokok yang terjadi di semua pemain dari Danny Gatton, Shawn Lane sampe Bireli Lagrene. Beberapa hal lain kayanya cenderung personal, dari string action, gauge, fretting n picking hand position, dll. Nah, silakan coba n buktikan sendiri kalo shredding sebenernya kagak susah. Dengan discipline, doi bakal datang sendiri, in time. Yang kagak gampil adalah memodifikasi dan mengkombinasikannya dengan berbagai aspek laen tuk membuatnya terdengar tasty n musical, wong kalo sekedar maenin sequence scales naek turun tok, tiap murid di semua les-lesan manapun juga pasti bakal bisa.

“Bill Gates” juga bisa shredding loh, make gypsy guitar pula :

Piano

Tulisan ini juga masuk piano chapter, tapi kenapa pianist kagak dibahas? Sebenernya sebagian besar pianist mungkin nantinya kagak akan dapet manfaat apapun dari baca tulisan di blog ini, karena mayoritas pianist biasanya sudah punya resource yang jauh lebih reliable dari para professor di conservatory-nya masing-masing, kecuali segelintir pianist otodidak or yang masih tahap starter level. Sebagian besar populasi pianist adalah manusia perfectionist dan semua classical pianist bisa dibilang masuk level perfectionist mampus pus, sampe di suatu tingkat dimana Jordan Rudess yang dari Juilliard sekalipun dianggap mbalelo dari mainstream teaching, technically. Pendapat ane, as long as it working flawless n tension free, no problemo terhadap personal preferences. Judgement ini tentu saja gara-gara background ane dari gitaris yang punya banyak banget variasi teknikal school, dari postur picking hand Marty Friedman (not sure siapa yang follow beliau) sampe cara maen Andy McKee (banyak yang make). Kemungkinan ini bisa saja berhubungan dengan ketertarikan Jordan Rudess tuk maenin synthesizer n rock music, or bisa juga pengaruh penggunaan Kurzweil workstation (Fatar keybed) selama 1 dekade dengan tetap lancar maenin Hanon, tapi ane not so sure. Teknik yang dibutuhkan tuk maenin kibor dengan hammer action emang butuh modifikasi dari teknik traditional di acoustic piano, terutama powernya. Untuk mencet bagian dalam keyboard, terutama white key yang berada di sela-sela black key, perlu beberapa kali lipat tekanan daripada maen di traditional acoustic piano, bikin hammer action keyboard beberapa kali lebih susah dimaenin daripada traditional piano (kagak berlaku untuk Kawai MP11 dengan Grand Feel Action nya yang release awal taun ini, konstruksi keybednya sama persis dengan grand piano).

Utskrift

Anyway, fakta bahwa permutasi 2 tangan dengan 10 jari itu ada banyak banget, porsi latihan pianist umumnya bisa sampe kaya kebanyakan orang ngantor (8 jam, or more) per day, yang bisa berlangsung selama beberapa taun (or belas taun) sebelum mencapai personal goal masing – masing. Pianist juga punya agenda yang jauh lebih luas daripada sekedar mamerin speed n techniques. Ada beban lebih berat dibalik gelar big boss of all western instruments. Tapi walo begono, para pianist (terutama di concert level) kagak perlu klasifikasi shredder, mereka kalo mau udah pasti bisa maen jauh lebih cepet n complicated (in more musical way) dari siapapun yang bisa maen gitar standar. Lha wong 10 jari kerja bareng je Dab. Ditambah lagi, mekanisme eksekusi not di piano umumnya cukup dengan pengaturan kombinasi antara arm weight, gravitasi, dan kecepatan finger attack (untuk dinamika forte keatas memang bisa aja ikut ngelibatin otot bahu dan body weight). Kalo mau di oversimplifikasi, maen piano seolah bisa kaya sekedar milih jari tuk berinteraksi dengan gravitasi, menopang sebagian berat tangan di keyboard (Tobias Matthay’s Arm Weight method), yang tentu saja tujuan utamanya adalah maen piano dengan weightless feel n super relaxed, way more relaxed daripada picking hand dan fretting hand di gitar (kita bakal denger dead note a.k.a. ‘jambu klutuk’ kalo frethand relaxed). Dan kalo pianist mau sekedar ngebut maen scalar tanpa terikat dengan dinamika dan attack-type, tinggal ningkatin kecepatan koordinasi jari aja kesana kemari, disertai dengan beberapa teknik-teknik pendukung, terutama thumb technique (pake so called ‘thumb-over’, biar lebih cepet n tension-free) untuk shift position, serta flatter finger position untuk efisiensi. Buat gambaran, ini salah satu contoh warming-up di piano, Russian style, maen similar & contrary motion contrapuntal playing, oleh Lola Astanova, concert pianist :

Bagi gitaris manapun kayanya bakal setuju kalo video warming up diatas masuk kategori serem dari sisi speed dan independence-nya. Walopun begono, doi adalah hal yang biasa n normal bagi kalangan pianist (terutama concert level n ekuivalen-nya). Dan kalo mau ngelantur ngebahas teknik di piano (biar lebih spooky), sebenernya masih tersembunyi teknik – teknik yang jauh lebih sinting lainnya, salah satu yang terkenal serem bahkan bagi kalangan pianist sendiri adalah doubling (biasanya yang kedengeran paling musical adalah in 3rds dan 6ths) dengan 1 tangan, jadi teorinya dengan 2 tangan bisa maenin 4 scale simultan (mirip maenin scales pada SATB staff bebarengan, sendirian). Nah, lo..

Closing

Shredding adalah salah satu ekspresi musical yang sangat umum disalah gunakan sebagai ukuran tingkat musicalitas para instrumentalist, terutama dikalangan gitaris. Sebenarnya ada banyak aspek yang mempengaruhi musicality para players, dan shredding justru tidak harus termasuk didalamnya. Konsep ‘less is more’ bisa digunakan tuk membantu shredder konvensional untuk lebih memahami musicality secara umum, terlepas dari ukuran yang ngetren di komunitas gitaris.

Hal yang umumnya dianggap paling susah bagi para musisi yang udah punya techniques adalah bermusik dengan balance dari 2 kutub yang berlawanan :

  • Yang paling sering disearch disini : Inside – Outside

Ini adalah bagian dari subject tonal harmony, subject yang cukup sering di bahas disini, terutama setelah ada workshop reguler di Dojo Gitar. Kombinasi dengan porsi yang tepat dari 2 hal itu bikin musik kita kedengeran lebih tasty.

  • Yang lebih relevan dengan subject shredding : Sound – Silence

Seringkali, kita perlu maen dengan menggunakan lebih sedikit not. Karena musisi beneran itu kagak cuman maenin bunyi, kita juga musti paham n bisa maenin silence dengan porsi yang efektif tanpa mengurangi detil pesan yang harus disampaikan. Kombinasi antara sound n silence adalah pondasi dasar musik.

  • Hal lain yang cukup relevan dengan shredding : Reduksi – Ekspansi

Ini adalah bagian dari subject tentang harmony, terutama yang mengarah ke aransemen dan orkestrasi. Basically, shredding adalah salah satu bentuk ekspansi yang efektif untuk memberi kesan agresif dalam musik (dan fans eksklusif terbesarnya dipengaruhi faktor usia, kaya yang dibahas sebelumnya diatas). Dengan lebih memahami harmony secara luas, maka umumnya saat ekspansi (shredding, orkestrasi, dll) kita bakal bisa selalu mengekskusinya in context dan lebih bisa dipertanggung-jawabkan secara musical (sangat berguna tuk para composers n improvisers).

Kalo musik kita hanya fokus berekspresi pada 1 hal melulu tentu aja bakal kedengeran boring n predictible. Aim for balance, more subtle details n juga variety buat ngasi beberapa surprise secara musical ke audience. Untungnya nih, berhubung ini adalah blog tentang musical journey dengan background ke arah edukasi, tentu saja ada beberapa resource yang cukup relevan “tersenggol” disini, yang masing-masing subject bisa diexplore sesuai kapasitas n interest dari tiap individu.

 

vladimir horowitz
Vladimir Horowitz, The Last Romantic

Jadi, dig in deeper dan selamat nyeredding..

Classical Music Fundamentals bagian 5.4 : Harmonic Minor, Melodic Minor & Bebop Scale

Posted on Updated on

Bebop&Rocksteady
Bebop & Rocksteady

 

Dalam scales, tiap not tidaklah sama (ini udah ditekankan berkali – kali dalam subject chordal vs modal improvisation, terlebih lagi saat workshops di Dojo Gitar). Ini bukan berarti kita diajarkan untuk punya preferensi terhadap not tertentu, dan menghindari not lain secara saklek kaku mampus gitu Dab. Dengan mengetahui bagaimana cara harmony bekerja dalam menceritakan sesuatu secara musically, kita bisa menggunakan tiap not secara bijak sesuai sikon, on any key, tanpa perlu melibatkan transpose.

Dalam sebuah diatonic scale, ada sebuah not yang berfungsi sebagai primary not (mirip Optimus Prime-nya para Autobots di Transformers). Not ini adalah yang jadi sandaran bagi not – not laen di dalam scale, baik dari segi nama scale-nya, formula-nya maupun tonal gravity-nya. Dalam penulisan, doi selalu dilambangkan dengan angka 1, arabic untuk scale degree dan roman untuk chord degree. Kadang ada juga penulisan menggunakan symbol R untuk Root, terutama penulisan formula scale degree. Not ini semua orang kenal dengan nama Tonic Note.

Dalam Western Music, ada 1 lagi yang perlu dikenalin yaitu Leading Note. Doi adalah not yang lokasinya 1/2 step dibawah Tonic (maj 7th degree). Karakter doi adalah cenderung unstable (based on diatonic tertian harmony build on it), dan kebelet resolve naik 1/2 step ke Tonic. Konsep Leading Note dan substitusi menjadi backbone berbagai konsep dalam komposisi dan improvisasi di tonal music, yang telah digunakan sejak era Baroque sampe dengan modern contemporary. Karakter bunyi ini digunakan untuk membangun expectasi, lalu Tonic berperan sebagai resolusi. Expectasi ini biasanya sering disebut sebagai tension (drama) dan resolusi disebut release (conclusion, kesimpulan). Mirip cerita di film, konsep tension n release ini secara umum merupakan kontributor utama dalam membangun story di musik. Konsep tension – release ini dibentuk oleh oleh kombinasi pitch (functional harmony, consonance – dissonance) dan time (strong – weak beats).

Konsep Tonic dan Leading Tone yang digabungkan dengan konsep substitusi secara umum cenderung menghasilkan line dengan chromaticism, yaitu menggunakan not – not yang terdapat di chromatic scale. Kata chroma berasal dari bahasa Yunani yang berarti color (warna). Yoi, penggunaan chromaticism dengan kadar tertentu bikin lines kita lebih colorful. Dan untuk bisa menggunakan berbagai komposisi warna dalam musik dengan ok, komposer/improviser memang perlu informasi jauh lebih banyak daripada sekedar komposisi item – putih (or dalam musik, mayor n minor).

Chromatic
Chromatic

 

Ngomongin tension – release di tonal music, tentu saja kagak bisa lepas dari cadence. Beberapa pihak mendefinisikan cadence sebagai rise and fall, sebagian lagi adalah ending dari sebuah musik. Terlepas dari definisi baku nya, ane personally lebih demen definisi “point of rest”. Coba dengerin part dari musik ente, pasti ada bagian sequence yang terasa beristirahat sejenak, lalu jalan – jalan lagi ngalor ngidul, lalu istirahat sejenak (lagi), dst sampe istirahat selamanya (ending musik). Nah doi adalah sequence dari cadence, yang terdiri dari tension and release.

Nah, cadence ini ada macem – macem, yang mau disenggol dikit disini adalah hubungan antara perfect cadence (progresi V – I) dengan modifikasi standar scale (khususnya tonic minor scale). Umumnya, untuk mendramatisir bunyi gravitasi terhadap tonic, V dalam progresi dibikin V7 (terdapat tritone dalam akord, ceritanya untuk ultimate tension).

Nah, progresi V7 – I untuk yang di major key, no problemo, kagak perlu ada modifikasi not disono. Bagaimana dengan minor key? Yoi, perfect cadence inilah yang membuat diatonic minor scale punya 2 variant tambahan : Harmonic Minor dan Melodic Minor.

Untuk membuat perfect cadence di V7 – Im, kita perlu memodifikasi skala natural minor. Biar gampil n kagak kebanyakan nulis accidentals, yang dibahas disini adalah Am. V7 – Im di key Am adalah E7 – Am. Akord E7 terdapat sebuah not yang tidak ada pada Am scale yaitu G#. Nah, supaya sebuah skala diatonik bisa digunakan dalam 2 akord tersebut maka skala Am (natural minor) dimodifikasi jadi harmonic minor.

A natural minor : A – B – C – D – E – F – G
A harmonic minor : A – B – C – D – E – F – G#

Lalu perihal melodic minor, doi adalah modifikasi lanjutan dari harmonic minor, untuk membuat step dalam scale kagak terlalu pincang n jumpy, not ke 6 (F) dinaikan setengah step (jadi F#). Ada beberapa versi alesan tentang hal ini, tapi ane lebih cenderung demen dengan alesan simpel, bahwa dengan jarak 6 yang nggak terlalu jauh dari 7, maka interval dalam skala terdengar lebih rapi n seragam, jadi nggak terlalu nyimpang jauh dari leluhurnya (natural minor kagak ada interval #2, or 3 semitones).

Natural minor intervals : T – S – T – T – S – T – T
Harmonic minor intervals : T – S – T – T – S – 1.5T (or 3S) – S
Melodic minor intervals : T – S – T – T – T – T – S

Dalam penerapannya, skala – skala ini bakal kedengeran paling ok kalo digunakan sesuai konteks, tapi untuk gambaran umum, sebagian besar orang seringkali menggunakan melodic minor saat maenin ascending line di tonic minor key, dan make natural minor saat descending.  Beberapa pihak menyebutkan melodic minor dengan nama ascending jazz minor scale. So, same thing, dan pas descendingnya kemungkinan besar jazzer lebih demen pake dorian or bebop minor scale. Untuk efek yang lebih eksotis, harmonic minor bisa digunakan.

Q : Eh, ntar dulu.. Bebop minor?
A : Yoi Dab.

Ini sekilas jadi rada kurang relevan dengan judul tulisan yang lagi ngebahas seri fundamental classical music sih, karena bebop nongolnya di era jazz. Tapi, don wori, sebenernya konsep bebop itu udah ada sejak jamannya J.S. Bach, di era Baroque. Makanya sering ada yang bilang bahwa Bach adalah jazzer. Mungkin kalimat yang lebih tepatnya adalah : ‘para jazzer make konsepnya Bach buat impro’.

Bach adalah jazzer?
Bach adalah jazzer?

Bebop scale adalah memodifikasi sembarang skala diatonik yang terdiri dari 7 not (heptatonic) menjadi 8 not. Ini berlaku untuk skala mayor dan minor, makanya ada istilah bebop minor. Ide ini dipake oleh musisi besar saat era bebop (makanya namanya bebop scale). Beberapa pihak menyebutkan cuma ada beberapa type bebop scale (major, minor, dominant, dsb), tapi sebenernya ada lebih banyak dari itu, terutama setelah kita paham aplikasi bebop dalam improvisasi, serta konsep chromaticism.

Para pemaen bebop yang bikin genre jazz jadi super technical itu selain peduli detil terhadap harmonic changes, mereka juga peduli terhadap detil ketukan. Ini perlu diperhatikan bagi para pelajar jazz, terutama bagi yang berlatar belakang shredding lulusan Hotlicks or REH videos, yang sebagian besar cenderung lebih fokus shortcut ke hal yang sensasional daripada esensi.

Bebop scale adalah scale yang membuat pemainnya selalu maenin chord tones saat strong beats, dan non-chord tones saat weak beats, baik saat ascending maupun descending tanpa intervallic skips.

Bagi yang udah tau hubungan modes dengan tetrad harmony (triad + 7th degree), terlebih chordal dan modal improvisation, maka tiap modes bisa ditambahkan sebuah passing note untuk membuat bebop scale, dan bisa langsung dimainkan dan kedengeran cukup otentik. Lokasi penambahan passing note-nya sebenernya bebas (ada 5 lokasi per diatonik modes), masing – masing akan memberikan efek yang berbeda.

Bagi yang belum tau hubungan modes dengan tetrad serta subject chordal dan modal improvisation, sebenernya tetep bisa langsung bikin macem – macem skala bebop, tapi pas nyoba aplikasi, insting dan eksekusinya mungkin blom akan kedengeran ok dan otentik. silakan study n explore dulu dari berbagai sumber. Di blog ini udah pernah beberapa kali nyenggol modes, tetrad (dengan sedikit variasi term), chordal dan modal (or scalar) improvisation. Silakan disearch.

 Bersambung..

Classical Music Fundamentals bagian 5.3 : Intermission

Posted on Updated on

PC3K8
Big Boss : you name it, she plays it

 

Yang dimaksud Boss dalam ensemble pada tulisan sebelumnya mungkin hanya berlaku pada Western music (yang tentu saja musik yang mayoritas kita dengar sehari-hari). Kalo pada sebagian atonal (modal) music, terutama pada sebagian besar non-Western traditional music, piano malah bakalan hopeless, terutama dalam hal tuning. Piano memang nampaknya didesign hanya untuk maenin Western music, almost exclusively.

However, fear not, dengan bantuan teknologi, pianist tetep bisa mempertahankan statusnya sebagai Boss, bahkan naik jadi Big Boss (so to speak) karena punya solusi gampil supaya bisa ngejem bareng gamelan dkk, yaitu via kibor. Harmony dalam traditional music jamming tetep bisa dieksekusi yaitu dengan custom tuning, or bisa juga dengan ‘all in one ultimate solution’ : via sampling. With technology, the limit is our imagination. Yoi atuh, Big Boss tea..

Jadi, yang dimaksud ‘Boss’ oleh Joe Pass adalah, dalam hal harmony, piano lebih advanced dari gitar. Dan dalam ensemble, harmony-lah yang jadi Boss, bahkan mengatur apa yang mau jadi melody-nya. Dalam musik yang kita dengar sehari-hari saat ini, misalnya pop, rock, jazz, dll, harmony dalam lagu ditentukan oleh yang kita kenal sebagai akord (progresi). Untuk menguasai harmony akord secara menyeluruh, perlu proses study yang mungkin sebanding dengan study semua permutasi melody. Kadang bisa lebih gampil, kadang bisa lebih susah, tergantung sikon dan juga perspektif :

  • Tentu saja secara umum, progresi akord ‘Sweet Child O Mine’ jauh lebih gampil daripada intro licks nya Slash, tapi..
  • Untuk sekedar lancar maenin progresi akord ‘Balonku’ versi yang tersimpel (triad), tidak segampil kalo hanya maen melody-nya. Berlaku di semua chordal instruments. Coba cek ke bocah terdekat yang blom pernah maen instruments sama sekali.

Kesimpulannya, dalam timing yang sama, maenin lebih banyak not bersamaan adalah beberapa kali lebih susah daripada maenin single lines.

“Yaahhh, itu mah bocah juga ngarti To!”

“Mungkin itu juga yang bikin para pemula lebih gampil belajar melodi duluan.”

Single lines umumnya akan dikategorikan susah kalo ada banyak not yang musti dimainkan dengan relatif cepat secara berurutan. Ini adalah area dimana bendera para shredder berkibar. Tentang shredder, kalo hanya sekedar overemphasis ke aspek shredding doang tanpa (or kurang) diimbangi dengan pengetahuan tentang harmony dan aspek lain dalam musik, yang terjadi adalah bukannya sangar, mereka malah bakalan cenderung kedengeran unyu-unyu, monoton, predictible dan un-musical (terutama dari perspektif mayoritas). Tentu saja ini terlepas dari itungan NPS-nya yang layak jadi cabang Olympiad (or Guinness World Record).

Musik yang masuk kategori keren secara universal (termasuk didalamnya impro), hampir selalu terdiri dari beberapa aspek terkait yang kadarnya pas kalo dianalisa. Selain harmony, ada beberapa hal lainnya yang seringkali dikorbankan oleh para shredder (terutama yang masih amatir) demi untuk meruncingkan speed playing-nya, termasuk diantaranya adalah hal yang super basic : dinamika. Sampe ada beberapa pemain orchestral instrument yang berkomentar :

“Jangan ngomongin texture sama timbre ke pemaen gitar, moal pada ngarti..”

Ini jelas bukan ditujukan ke semua gitaris secara umum, tetapi cenderung dimaksudkan pada sebagian gitaris yang cenderung menganggap rata dinamika karena musiknya (or sound gitarnya) terkompres dengan kadar cukup parah (yang cukup ngetrend beberapa taun belakangan). Tentu saja ini adalah tentang selera dan delivery. Dulu pas awal bermusik ane pribadi juga sempet demen musik yang relatif konstan agresif begono. Tapi beberapa taun terakhir, ane cenderung lebih demen kompresi dengan kadar yang sekedar cukup untuk membantu sustain tanpa ngebabat dinamika. Sound ini bisa dicontohkan dengan sound gitar Guthrie Govan pas make Cornford Amplification, silakan cek album beliau, ‘Erotic Cakes’.

GG n Cornford
Guthrie Govan & Cornford Richie Kotzen

Sound drive n lead beliau di album itu terdengar smooth, masih kedengeran karakter bunyi asli (clean) dari gitar, alias cukup transparan. Lead hayu, chording juga tetep detil. Sound macam beginilah yang jadi incaran oleh para tone purist : sustain iya, dinamika juga iya, kagak ada aspek musical yang jadi tumbal.

  • Warning : Maenin dengan setting ini butuh teknik yang lebih ok.
  • Reward : Way more detailed n  more expressive playing.

Back to topic. Karena harmony adalah Boss, akan lebih ok kalo dalam improvisasi kita lebih berorientasi pada chords daripada scales. Cara itu juga bikin kita nggak akan pernah kedengeran salah maenin not, kecuali mungkin teknikal (timing). Akord memang lahirnya dari scale, tapi dalam bermusik beneran, kagak ada yang bener-bener maenin scale, apalagi saat impro. Nah lo..

  • Kapanpun kita maenin scale dalam music, kita akan terdengar kaya bocah lagi latihan fingerings. Silakan coba.
  • Scales, by definition, tentu saja beda sama licks. Licks itu orientasinya adalah harmony (akord).

Untuk itu, bagi para gitaris yang ingin explore lebih jauh, akan lebih ok setelah single lines impro-nya berorientasi pada harmony, coba juga mulai memasukkan harmony dalam lines-nya. Itu mungkin bisa membantu membuat kita terdengar lebih pinter daripada keliatannya. Mengurangi ketergantungan pada backing tracks juga bisa membantu (or memaksa) supaya comping, chords vocab n groove kita lebih keren. Ini cukup penting ditekankan berkali-kali karena ada cukup banyak generasi baru yang maen leadnya gokil tapi pas ngejam bahkan nggak bisa comping. Pas ngejem mereka nyalain backing tracks, n nunggu giliran solo. Then what will happen kalo jamming-nya bareng band? Nah lo..

“Yang jadi Boss saat jamming adalah yang paling menguasai harmony, bukan yang paling mlintir n akrobatik solo-nya.”

Test simpel-nya, dari pengalaman di Dojo Gitar : Pancing kreativitas improviser dengan maenin substitusi, dari tingkat yang paling sederhana berangsur ke moderate, pas jamming dengan progresi simpel yang diulang-ulang. Orang yang cukup paham (functional) harmony bakal langsung tau kalo itu adalah sekedar “jalan lain menuju tonic”, dan doi akan mengadaptasi licks berdasarkan ilmu (dan selera) harmony-nya. Dan orang yang belum cukup paham harmony akan komplain kalo substitusi adalah akord yang salah, dan berhenti soloing karena licks yang udah diapalin kedengeran ‘kurang fit’.

Dari situ kita bisa ambil kesimpulan bahwa dalam impro, orang yang lebih paham harmony bisa maen dan explore dengan lebih fun, karena doi enjoying musik sebegitunya, doi bahkan kagak perlu nyapin (dan ngapalin) licks. Ya walopun pada awalnya study licks memang diperlukan tuk analisis n vocabs, tapi pada akhirnya, sebagai musisi dan improviser kita perlu explore karakter impro kita sendiri. Licks bisa dibikin on spot based on rhythm feel, harmony n juga mood. Makanya, explore harmony itu makanan wajib buat improviser.

metheny_mehldau
Brad Mehldau & Pat Metheny

Bagi gitaris yang udah cukup paham comping dan soloing, dan gabungan keduanya, chord melody playing memang kayanya menjadi batasan maksimal advanced harmony playing yang bisa disikat di gitar standar secara solo. Lebih dari itu, akan cenderung lebih gampil kalo disikat di piano. Bagi para advanced improviser, silakan cek permainan pianist macam Brad Mehldau, Keith Jarret, dkk, impro mereka bisa kedengeran lebih gokil dan free daripada “mayoritas improviser biasa”, karena menggunakan cara yang lebih advanced lagi dalam maenin harmony, yaitu dengan maenin polyphonic lines berdasarkan prinsip counterpoint. Teknik ini lebih dikenal dalam classical music composition, yang dimulai dari era Baroque music. Menguasai doi membuat kita nggak lagi terpaku pada progresi akord dan substitusinya. Kita bisa memainkan lebih dari 1 line melody bersamaan dan  semua lines bisa bergerak bebas serta sekaligus harmonis. Very interesting subject bagi para composers. Dan karena improvising adalah instant composing, otomatis doi juga very interesting subject buat para improvisers.

Nah dari situlah asal subject Baroque Style nongol di guitar chapter sekitar 2 taun lalu, dan piano chapter ini adalah kelanjutan journey-nya.

Bersambung..

Classical Music Fundamentals bagian 5.1 : Melody, Tuning & Ratios

Posted on Updated on

Guido_Aretino
Guido of Arezzo, the inventor of modern musical notation (staff notation)

 

Setelah nyenggol dimensi pertama musik yaitu rhythm, meter n duration, sekarang tiba waktunya tuk nyenggol dimensi kedua : melody. Dalam musik, melody biasanya menempati range yang relatif tinggi dalam term pitch (yoi, yang dipake biasanya adalah treble clef yang keliatan mlungker mirip biola tea). Apakah melody kagak boleh berada di mid or bahkan low pitch? Tentu saja boleh, tapi efeknya nggak se-nonjok kalo ditaro di high register. Kebanyakan orang akan setuju kalo melody di range high cenderung lebih gampil didengerin. Why is that? Ini sebenernya masih nyambung sama tulisan sebelumnya (Classical Music Fundamentals bagian 4.1 : Partials, Overtones & Synthesizer). Berhubung melody biasanya cukup aktif, doi perlu dieksekusi dengan soundwave yang lebih pendek, cepet clear dengan mild-minimal interference (overtones). Di electric gitar, ini berarti maen di senar plain (unwounded). Di piano, patokannya kira – kira C4 keatas. Dengan begono, doi terdengar dengan lebih jelas detilnya.

Lalu berikutnya tentang pitch. Tradisi western music lebih cenderung menggunakan notasi daripada musik – musik dari daerah lain di dunia. Ide tentang penulisan pitch ini udah ada sejak sekitar abad ke 9 di negara – negara di Eropa. Tapi system yang populer digunakan pada waktu itu (neumatic notation) hanya terdapat simbol untuk pergerakan melodi secara umum naik or turun tanpa detil seberapa jauh musti naik n turun. Lalu di Italia sekitar taun 1000 an, Guido of Arezzo memperkenalkan grid garis paranada. Awalnya 4 buah, lalu 5, bahkan 6, lalu kembali ke 5 saat abad ke 15 an. Di tahun 1000- an itu juga mulai ada label notasi dari A sampe G

Lah, kenapa cuman sampe G? Kagak ada not H, I, J, K, dst?

Karena oktaf. Senar dari not yang lebih tinggi bergetar 2x lebih cepet daripada not yang lebih rendah. Dan karena bunyinya sama, nama abjadnya juga sama. Hal ini bernama octave duplication.

Faktanya, semua kultur musik di dunia dari Cina, Jepang, Indonesia, India, Africa, dll, menggunakan octave duplication di musiknya (silakan kroscek ke para ethnomusicologist). Namun begono, tiap kultur membagi oktaf dengan cara yang berbeda – beda. Ada yang sampe kurang dari 12 not per octave, ada yang lebih. Dan frekuensi tuningnya juga berbeda dari 12 tone equal temperament tuning system yang dianut oleh western music, bikin mereka kedengeran eksotik beneran. Tentu saja yang sering para gitaris ributkan (lebih tepatnya para shredder-wannabe yang umumnya kebingungan bagaimana cara make scale biar solonya kedengeran tasty, menyangka bahwa musti make scale-scale aneh), seperti study bermacam-macam exotic scales, yang nyatanya kagak akan beneran bunyi eksotik seperti seharusnya, wong formula intervalnya aja merupakan versi kompromi yang make western tuning. Apakah gamelan bisa dimainkan dengan western tuning? No. Paling maksimal, sekedar kedengeran mirip, it pun bagi orang awam. Tau formula da mi na ti la (or formula exotic scale lainnya) nggak akan beneran membantu maen eksotik secara otentik kalo kita masih make western ‘standard’ tuning.

Kesimpulannya, exotic scales nggak akan bunyi eksotis beneran kalo sekedar make formula interval, tuning-nya juga musti diubah. Dulu Dojo Gitar udah pernah ngebahas pelog n slendro di workshop reguler ke 4 :

https://ditomusicman.wordpress.com/2013/10/29/workshop-iv/

ravi shankar norah jones
Ravi Shankar (RIP) & Norah Jones

 

Ravi Shankar (RIP), seorang sitar virtoso, memainkan Indian raga dengan 6 notes per octave. Norah Jones, putrinya, juga memainkan 6 notes per-octave, dengan pattern yang berbeda : Blues scale. Untuk contoh 5 note pattern (pentatonic scales) adalah musik traditional dari China dan Indonesia.

BTW, kenapa western music make 7 notes dalam diatonic scale? Jawabannya kembali pada teori musik era Yunani Kuno. Orang Yunani Kuno itu kayanya beneran geeky n nerdy tentang matematika, karena matematika adalah cara mereka untuk menjelaskan hal-hal yang ada di dunia, yang termasuk diantaranya adalah musik. Mereka make ratio, 2:1 untuk octave, 3:2 untuk 5th, 4:3 untuk 4th, 9:8 untuk satu tone (2nd), dst.

Prinsip ratio ini bikin diatonic scale di tuts piano keliatan aneh, asimetris kalo diliat dari A dan C. Ini gara-gara E-F dan B-C yang berjarak 1/2, bikin ada 2 tuts putih bersebelahan tanpa tuts item ditengahnya. Tentang simetris, secara chromatic tuts piano sebenernya simetris kalo dilihat dari D, dan G#.

Nord Piano 2
simetris, coba lihat dari D & G#

 

Orang Yunani Kuno juga punya beberapa pattern seperti mixolydian, hypomixolydian, phrygian, hypophrygian, dan banyak lainnya, tapi untung saja pada abad 16 or 17 standarnya dipersimpel dengan hanya 2 pattern utama, major n minor.

Bersambung..

Sweet Notes

Posted on Updated on

jazz_improvisation_in_key_as_shown

Q : haloo pak dito salam kenal, saat ini saya baru mau MULAI belajar improvisasi, tapi dalam prakteknya saya menemui banyak kesulitan, saya harap pak dito berkenan membantu saya?

  1. apakah ketukan kuat ( strong beat ) itu jatuhnya harus selalu ke chord tones?
  2. misalkan chord latarnya di C mayor trus saya ingin berimproviasai menggunakan c mayor scale, dari mana saya harus memulainya apakah harus dari chord tone c mayor juga ( C-E-G ), demikian juga saat beristirahat umpamanya durasi chord c nya ada 8 bar setelah bermain selama 2 bar saya ingin beristirahat 1 ketukan, not apa yg menjadi tempat saya singgah, begitu juga saat mau pindah chord, umpamanya setelah dari C, chord nya menuju ke F, pada saat jrenggg chord F dimainkan not apa yg harus saya mainkan supaya harmonis dengan chord F nya?
  3. bagaimana cara memaikan scale kromatik?

mohon kiranya bapak mau menjawab pertanyaan saya, sebelumnya saya ucapkan terima kasih.

A : Halo, salam kenal Dian.

Dalam improvisasi tonal :

1. Strong Beat itu tidak harus diisi dengan chord tones, tetapi doi memang lebih dianjurkan, apalagi untuk keperluan voice leading. Kalo menggunakan kata ‘harus’ maka jawaban yang lebih tepat adalah chord scales (sekedar scale biasa, tapi hati2 dengan avoid notes). Dari chord scales (atau cuma ditulis ‘scales’) itu kita bisa membuat lagi prioritas : chord tones untuk maen aman, dan guide notes tuk not2 yang paling sweet (karakter utama) tiap akord.

2. Dalam kasus itu :

  • Kita bisa memulai dari not manapun (termasuk dari skala kromatik). Yang jadi highlight adalah not yang dibunyikan saat strong beat dan not yang dipilih untuk disustain.
  • Not yang dipake untuk disustain sama dengan jawaban no 1. Yang membuat chord scales (skala) bisa digunakan saat strong beat dan disustain adalah karena tiap akord bisa dikasih coloring (9th, 11th, dan 13th). Dengan demikian, misalnya saat akord C triad dibunyikan, kita bisa memainkan not D pada oktaf yang lebih tinggi untuk solo, baik itu disaat strong beat dan bisa juga untuk disustain (seolah2 akordnya Cadd9).
  • Saat jreng akord F, jawabannya cukup serupa dengan jawaban diatas. Pilihan chord scale nya adalah diatonik mode Ionian dan Lydian. Nah, dari situ bisa dibuat prioritasnya seperti jawaban 1.

3. Ada cukup banyak approach yang bisa digunakan untuk maen kromatik saat impro, yang termudah adalah dengan sekedar menyisipkan mereka diantara not2 yang lebih ok, yang berbunyi lebih stabil. Dengan kombinasi not stabil dan kurang stabil (tension, non diatonik, lalu ke release) ini, impro kita akan lebih kaya dan berwarna. Tapi umumnya cara ini tidak disarankan untuk digunakan dalam dosis tinggi, cukup sesekali saja sebagai bumbu untuk faktor kejutan biar nggak boring.

Untuk keperluan experiment, berikut ini adalah contoh improvisasi penggunaan kromatik yang digunakan dengan dosis cukup tinggi :

Semoga cukup membantu.

Modes bagian 10 [Perspektif Derivative]

Posted on Updated on

relativity

Musik itu simpel. Ciyus!

Musik itu simpel, yang membuatnya kompleks adalah para musisinya. Untuk sebagian teman – teman yang baru berkenalan dengan modes dan mendapatkan informasi dari buku – buku atau dari pengajar yang cenderung lebih menekankan pendekatan derivative baku terhadap modes, mungkin beberapa informasi dari sebuah perspektif lain dibawah ini bisa membantu untuk lebih bisa bermain modes secara instan. Definisi baku dari pendekatan derivative :

‘Mode x adalah skala y dengan dimulai dari not ke n’

  • x = modes, dalam bahasan awal ini hanya membahas 7 modes dari skala diatonik mayor.
  • y = skala, dalam bahasan awal ini hanya membahas hanya sebuah skala diatonik, yaitu diatonik mayor. Ada lebih banyak lagi skala bagi teman – teman yang termotivasi untuk explore, dari diatonik minor, harmonic minor, melodic minor, whole tone, diminished [2 versi], dan bahkan area explorasi lanjutan seperti para exotic scales.
  • n = sembarang angka, maksimalnya adalah jumlah not dalam skala.

Kita bisa sedikit memodifikasi [membalik] definisinya, agar pendekatan derivative lebih bisa bermanfaat secara instan tanpa harus banyak berputar – putar dengan variabel – variabel. Rumus definisinya bisa dengan aman [dan jauh lebih efektif] kita ganti dengan :

‘Mode x berasal dari skala y yang berjarak n tone’

  • Mode Dorian berasal dari skala diatonik mayor yang berjarak 1 tone dibawahnya [2 fret lebih rendah].
  • Mode Phrygian berasal dari skala diatonik mayor yang berjarak 2 tone dibawahnya [4 fret lebih rendah].
  • Skala Lydian berasal dari skala diatonik mayor yang berjarak 2.5 tone dibawahnya [5 fret lebih rendah].
  • Skala Mixolydian berasal dari skala diatonik mayor yang berjarak 2.5 tone diatasnya [5 fret lebih tinggi].
  • Skala Aeolian berasal dari skala diatonik mayor yang berjarak 1.5 tone [3 fret lebih tinggi].
  • Skala Locrian berasal dari skala diatonik mayor yang berjarak 1 semitone diatasnya [1 fret lebih tinggi].

Setelah membandingkan definisi diatas, silakan teman – teman menentukan sendiri mana definisi yang lebih mudah dan lebih instant untuk diterapkan. Selamat bereksplorasi.

Previous | Next

Hubungan Akord dan Skala bagian 4 [Tritone]

Posted on Updated on

Interval diminished fifth [atau augmented fourth] juga terkadang disebut dengan beberapa nama lain yang cukup populer, yaitu tritone dan diabolus in musica [the Devil in music]. Tritone adalah interval dari 3 [three] whole tone, atau 6 semitones. Dan istilah diabolus in musica yang berarti ‘Iblis dalam musik’ ini telah digunakan dalam interval sejak sekitar awal abad ke 18. Istilah ini diciptakan oleh pihak Gereja karena beranggapan bahwa interval berjarak persis setengah dari oktaf ini berbunyi kurang religius daripada misalnya interval yang berjarak sepertiga oktaf [major third], dan seperempat oktaf [minor third]. Beberapa pihak mengatakan ini juga berkaitan dengan konsep Holy Trinity, tetapi sampai sekarang saya belum mendapatkan informasi yang cukup meyakinkan tentang keterkaitan ini. Faktanya, silakan teman – teman mencoba sendiri interval ini, dan memang bunyi yang seperti inilah yang sering kita dengar dalam latar film – film horror yang berhubungan dengan satanisme [terutama ketika adegan memanggil setan ;-)]. Dan ketika kita memang merasakan [maksudnya mendengar dengan rasa] bahwa interval ini terdengar cukup menyeramkan, kita bisa mengerti tujuan pihak Gereja mengeluarkan istilah ini. Walaupun demikian, sekarang ini, entah kebetulan atau tidak, dengan tingkat populasi agnostik yang semakin bertambah, dan semakin berkurangnya nilai – nilai moral dalam masyarakat, musik modern justru banyak menggunakan interval ini [misalnya musik – musik death metal].

Nah cukup segitu dulu serem – sereman nya, kembali ke topik utama. Skala – skala [scales] seringkali dipahami dengan salah sebagai hanya sebuah metode dari latihan teknik. Faktanya, sebuah skala adalah lebih dari sekedar itu. Skala adalah kumpulan not – not yang berbunyi harmonis dengan suatu akord tertentu, atau dengan deretan progresi akord. Kita bebas memainkan not – not nya dengan sembarang urutan, dan kita bisa mengkombinasikan not – not nya untuk membentuk jalur harmoni, atau progresi akord.

Previous | Next