italian school

How Far is Too Far? Hubungan Antara Academia & Industri Musik Hari Ini

Posted on Updated on

Igor Stravinsky

“I consider polytonality complete nonsense. They want none other than to learn the laws of chaos — it is madness.”

– Stravinsky, stand against serial atonality (1926)

Semua sekolah musik n konservatori pada kompak ngajarin bahwa komposer2 musik jadul itu keren2. Mereka selalu jadi referensi di kelas komposisi, n dipelajari tiap individual not nya, sampe ke dinamikanya, penafsiran timingnya, dst. Tapi, sayang sekali sebagian prinsip2 bermusik mereka nggak bisa di terapkan di industri modern –at least– dengan sesimpel itu. Contohnya yang kita semua tau, atonal serialism secara estetis ditolak oleh publik manapun, dan hari ini cuman bisa survive di film2 untuk mengekspresikan 2 hal doang : kecemasan dan misteri, which is kita sebenernya juga bisa santai ekspresikan juga lewat perspektif traditional centricity, pake (neo)tonal/modal/synthetic harmony dengan sekedar ngasih dosis chromaticism lebih tinggi, or bisa juga dikombi pake symmetrical scales. Lha wong even Schoenberg himself itu akhirnya juga balik ke centricity lagi kok.

Arnold Schoenberg

Musik adalah bunyi yang diatur/terorganisir, dan definisi ini memang bikin atonal serialism memenuhi kriteria untuk disebut musik. Tapi musik dari serial atonality secara objective belum –dan nggak akan pernah– bisa didengerin orang, karena pengorganisasian bunyinya nggak memenuhi syarat untuk bisa dipahami. Doi eksis almost pure hanya untuk alasan experimental, dan hanya berguna sebagai contoh dari sebuah system untuk dianalisa.

Kita tau pemahaman manusia untuk sebuah bahasa dipengaruhi oleh pengulangan dari kata2 menggunakan syntax untuk membentuk kalimat, dan dari keteraturan form. Dan karena musik itu diklaim sebagai sebuah bahasa universal, maka pemahamannya juga punya kemiripan dengan pemahaman bahasa, lewat pengulangan dari melody, harmony, dan cadence. Supaya lebih artistik n nggak boring, dari pengulangan2 itu kita juga bisa dibikin personal/customized musical syntax dan form, seperti halnya custom syntax pada judul2 berita or pilem, dan form2 dari puisi. Mereka ditulis nggak pake tata bahasa baku, tapi toh pembaca masih tetep paham maksudnya. Ada berbagai pilem bagus dengan plot kompleks n penyampaian yang nggak masuk akal, tapi toh viewers tetap bisa menikmatinya dan bisa dapetin gambaran besarnya secara implisit. Sebagian orang justru menganggapnya itu adalah penyampaian yang lebih “artistik”. Coba cek Mr. Robot, Black Mirror, dll.

Mr. Robot

Diskusinya :

Sebagian standar pendidikan musik hari ini emang nggak nyambung sama industri nya?

 

Argumen : Sayang sekali, hari ini orang yang paling ngerti n jago musik nggak serta merta jadi tokoh kunci di industri. Para educator pun nampaknya cuek terus ngajarin detil hal2 yang bakal susah diterima dan berkontribusi langsung di industri hari ini. Kemungkinan ini karena dulunya mereka sendiri diajarin untuk mempelajari segelondongan standar materi yang relatif sama turun temurun. Jadi sekedar mengulang tradisi dan cenderung kurang fleksibel pada perubahan tren industri. Kalo ini disodorin ke Nadiem Makarim, mungkin kampus2 bakal berhenti ngajarin atonal serialism (n beberapa konsep “random” nonsense lainnya), dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih seru buat komunitas, misalnya komposisi spontan berdasarkan set theory, dengan nerapin tradisi voice leading! Nah lo..

Counter-argument : Sebenernya selalu ada industri di semua jenis musik, cuman beda skala aja. Memang ada sih yang begitu kecilnya, sehingga kata “industri” dirasa kurang tepat digunakan. Tapi yang begitu kecil marketnya ini justru punya peranan besar secara intelektual, jadi para educator tetep punya alesan valid buat terus ngajarin.

Masyarakat penikmat musik pada makin kurang “musical”?

 

Argumen : Industry disetir oleh market, dan selera sebagian besar orang hari ini terhadap musik “keren” emang menurun. Teknologi, tren, dan lingkungan sosial kita dah bikin kita sibuk terhadap banyak hal secara relatif bersamaan. Kegiatan intense seperti menyimak musik perlahan digeser menjadi sekedar mendengar bunyi musik (sebagai latar aktivitas, ceritanya biar nggak sepi2 amat. Jogging hari ini nggak cukup dengerin jangkrik doang, ngantor nggak cukup dengerin klakson doang, musti nyetel Iron Maiden or OST Anime).

Counter-argument : Audience is king, jadi mereka nggak bisa disalahin mau pake alesan apapun. Kalo audience demen ‘Baby Shark’ dan cuman dipake untuk aerobic, maka itulah standar musical audience. Lebih dari itu bakalan overkill. Lagian, hal yang menarik dari musik di sisi showbiz nya adalah, doi bisa dibangun dari ide2 yang supersimpel yang nggak butuh teori apapun. Asalkan si musisi puas dengan delivery-nya, maka bakalan selalu ada audience yang beresonansi untuk mengapresiasi. BTW, nggak perlu malu joged campursari n ngaku Sobat Ambyar, wong itu fusion dari tradisi musik kita sendiri.

Didi Kempot

If kita mau kampanye musik “keren”, haruskah kita aktif blusukan buat ngajarin point2 yang bikin sebuah musik itu “keren”?

 

Argumen : Dibelahan bumi yang relatif damai n sedikit konflik, minat orang terhadap seni memang cenderung lebih baik. Tapi pendidikan tentang high art seringkali relatif susah diakses, salah satunya karena alasan finansial. Sharing2 di internet n youtube emang dah sedikit membantu, tapi masih blom cukup untuk membuat high art (kembali?) menjadi mainstream. Beberapa hal yang bisa memicu trend adalah kemudahan akses, kemudahan untuk dipahami dan seru untuk dishare/digossipin. Kalo sampe ada aktivitas rutin terbuka untuk masyarakat untuk ngajarin apresiasi musik, maka para musisi bakal demen karena makin banyak audience yang mampu menikmati musik “keren”, dan audience pun bakal pada demen karena makin bisa ngerti musik yang katanya “keren”. Win-win!

Counter-argument : Kagak perlu. “Keren” itu relatif. Terbentuknya global pop culture juga dipengaruhi regional culture sebelumnya. Standar jaman berubah, definisi2 juga bisa fleksibel ngikut. Lagian, sesuatu jadi lebih bernilai karena punya sejarah panjang dan populasinya yang langka, maka biarkanlah musik yang “keren” itu terus jadi minoritas untuk menjaga nilainya. Toh kita liat masyarakat pada enjoy2 aja. Yang mau ngulik lebih jauh karena pop dirasa nggak mencukupi seleranya, ya silakan.

Belajar musik formal sampe mentok-tok untuk memberikan kontribusi yang lebih besar kepada masyarakat adalah hal yang sia2?

 

Argumen : Musik adalah bagian dari seni yang menyampaikan ekspresi/pesan dengan bunyi yang terorganisir. Selama kita dah bisa berekspresi sesuai keinginan, maka nggak perlu kita harus sampai mempelajari hal2 lain diluar misi utama, hanya karena sekedar untuk dapetin pengakuan. Toh sebagian ilmunya lagi2 (hypotetically, if any) hanya berguna di ruangan kelas tanpa beneran berkontribusi secara musical ke audience awam di lapangan. Dan toh “penemuan” or “breakthrough” di musik –or art pada umumnya– memang relatif beda manfaatnya dari penemuan bidang lain, misalnya penemuan bohlam, arus AC/DC, 5G, AI, nanotech, Aica Aibon, dll.

Counter-argument : Motif utama dari belajar musik sampe mentok memang lebih cenderung untuk memenuhi keinginan pribadi untuk menjadi komplit n meminimalisir blindspot (misalnya, musiknya Prokofiev hanya bisa dianalisis dengan ok kalo menggunakan kombinasi beberapa teori. Paham sebiji teori doang bakalan bikin blindspot terhadap musik2 yang berada diluar cakupannya). Saat dah mentok, kita jadi lebih mantap berkreasi sebebas mungkin, n mampu menjawab (rationalize) sebanyak2nya pertanyaan tentang musik, sehingga nggak ada celah keraguan sedikitpun pas nepuk dada ngaku musisi, baik secara intelektual maupun emosional. Bagi yang dah mentok n komplit, bikin buku berjilid2 membahas berbagai aspek soal 5W 1H dari musik seharusnya bisa segampil nulis status or bikin selfie. Lebih gampil untuk composing n performing dengan stabil tanpa dipengaruhi mood. Dari situlah kita punya kapasitas berkontribusi lebih besar ke masyarakat.

Sergei Prokofiev

Nah, pertanyaan terbesarnya di taro terakhir : Apakah kita perlu kuliah n punya degree lebih tinggi di untuk bisa sukses di musik?

 

Jawaban tl;dr nya tentu saja adalah kagak. Kalo ngomongin sukses di finance n fame, coba liat ada begitu banyak pop/rock star sejak dulu yang nggak punya degree apapun di musik. Dan malahan ada sebagian anak muda (terutama yang rada close minded) dengan misi hanya pengen jadi rock star yang pada kecewa dengan materi2 yang diberikan kampusnya pas kuliah. Ini ada beberapa argumen untuk memperjelas perspektif :

Pertama, jelas konsep sukses itu relatif n personal : beda orang, beda definisi n target pencapaian. Sukses kuliah tentu saja ukuran normalnya adalah memahami n menguasai sebanyak2nya hal tentang musik. Perkara dapetin followers, gebetan, dll, itu dah lain soal.

Kedua, secara umum ada perbedaan yang jelas antara tingkat edukasi vs tingkat intelektual. Sebagian orang bisa aja punya macem2 degree tapi kontribusinya ke masyarakat tetep kaya orang idiot, ilmunya cuman dipake buat nyari celah buat dapetin keuntungan pribadi dan cenderung mengorbankan kebaikan yang lebih besar. Contoh yang paling jelas yang semua orang tau ada di bidang politik. Tapi kalo kita mau buka mata lebih lebar n upgrade radar, hal semacam itu juga bisa terjadi di bidang2 lain pembentuk peradaban, termasuk musik. So, tingkat intelektual lebih utama daripada tingkat edukasi.

Ketiga, sepanjang sejarah blom pernah ada musisi yang musicality nya dipertanyakan hanya karena nggak punya sertifikat, sebagaimana penumpang kereta yang didepak karena nggak punya karcis. Penerimaan or pengakuan kemampuan musisi normalnya didapatkan lewat audisi, or dari rekomendasi oleh tokoh2 musisi yang berpengaruh, or dari besarnya manfaat aktivitas bermusiknya bagi masyarakat. Sertifikat musik hari ini cenderung hanya dibutuhkan di situasi institusi sekolah musik untuk kualifikasi jadi pengajar, dimana audisi nggak memungkinkan (n nggak praktis) untuk mengukur pengetahuan, pemahaman, n wawasan musik seseorang.

BTW, ada juga musisi muda yang iseng make sertifikat untuk nakut2in musisi lain. Well, dalam seni terutama yang melibatkan showbiz, kita mustinya lebih takut pada kebanggaan yang tidak perlu terhadap ketidaktahuan yang tidak disadari.

The Legendary Barry Harris

Anyway, walo standar patokan di masyarakat tentang sertifikat musik umumnya begono, tapi selalu ada aja hal2 di dunia yang jadi pengecualian. Dalam beberapa dekade terakhir, salah satu pengecualian yang terkenal adalah Barry Harris, seorang educator senior yang sengaja nggak aktif perform untuk fokus ngajar, diburu semua kampus didunia untuk sesi masterclass dari konsepnya perihal ‘6th diminished’. Beliau nggak punya sertifikat apapun, tapi wawasan n musicalitynya memang super gokil, sepantaran dengan para jazz legends. Di situasi beliau ini, sertifikasi nggak lagi dibutuhkan. Berdasarkan contoh ini, bisa disimpulkan bahwa pada akhirnya satuan2 ukuran yang digunakan untuk dunia seni memang serba subjective.

Kalo dulu, kisah yang terkenal ada yang namanya The Five (5 komposer paling terkenal era Romantic di Russia, termasuk didalamnya Balakirev dan Rimsky-Korsakov). Mereka adalah para musisi yang otodidak, yang malah sengaja menghindari standar kampus demi untuk dapetin style Russian yang independent dari pengaruh sistem barat. Mereka bahkan sempet berantem sama Tchaikovsky yang aktif bermusik n mengajarkan tradisi barat di Russia. Untungnya kemudian seiring waktu, The Five akhirnya bisa menerima keterbukaan sambil tetap terdengar khas Russian. Even Rimsky-Korsakov juga akhirnya jadi dosen yang ngajarin tradisi barat di kampus Russia. Well, nampaknya emang susah membendung pengaruh dari peradaban yang lebih maju.

Rimsky-Korsakov, composer dari Flight of the Bumblebee

Nah, balik lagi, pertanyaan lanjutan yang mungkin nongol adalah, bagaimana “legalitas” musisi untuk bisa nekat pede ngaku musisi? Trus bagaimana orang awam bisa mencapai level musical yang cihuy kalo nggak pake sekolah/kuliah? Apakah kita bisa mencapai tingkatan The Five dengan sama2 otodidak?

 

Untuk ngaku musisi, umumnya kita cuman butuh 2 hal : kemampuan musical yang diakui oleh audience n community, dan bisa dibuktikan dengan bisnis musik (ada aktivitas finansial untuk mengapresiasi kemampuan musik kita). Nah jalan untuk mendapatkan mereka cukup fleksibel, dan hari ini kalo mau dimaksimalin, kuliah adalah rute tercepat untuk bisa mendapatkan keduanya. Kuliah (yang ok) bakal bikin kita jadi musisi yang kompeten, yang bakal diakui oleh audience dimanapun, trus mereka juga akan otomatis menghubungkan kita ke pelaku2 industrinya.

BTW, kampus musik ada banyak hari ini, n kita bisa milih yang paling sesuai sikon n target kita masing2. Kita pertimbangkan biaya dan kesempatan2 yang bisa didapatkan darinya. Nanti setelah mantap pilih salah satu, untuk dapetin hasil yang maksimal, kita musti mau nyemplung sedalam2nya, lupakan serial Cinta Fitri, Netflix, Drakor, misi namatin Death Stranding, RDR2, dll. Kalo somehow kita masih ragu sama program2 n kurikulum2 kampusnya, or belum nemu yang pas, dan kitanya merasa bisa mengembangkan semuanya sendiri tanpa butuh sertifikatnya, maka kita bisa aja bikin rute alternatif untuk nyampe target setara. Tentu saja butuh disiplin tingkat Super Saiyan untuk mendapatkan hasil yang relatif setara dari kuliah, plus kita nya musti beneran demen musik sampe segitunya, dan tanpa paksaan, supaya bisa menikmati terjalnya pendakian sampe puncak. Di rute ini, internet akan sangat banyak membantu karena ada banyak sekali resources yang nggak bisa didapatkan 20 taun lalu. Dengan kata lain, untuk jadi musisi otodidak hari ini relatif lebih mudah daripada 20 taun lalun. Walo begono, standar kampus pun ikut meningkat, jadi kita musti beberapa kali lipat lebih giat karena tetep aja harus nyari materi sendiri, nyari konteks sendiri, troubleshooting sendiri, problem solving sendiri, dan menguji diri sendiri.

Note : Kuliah dah otomatis nyodorin itu semua ke kita, dengan system yang teruji n standar kualitas. Dikasih tau (mungkin lebih tepatnya dipaksa harus paham) tentang berbagai prinsip musik dari hampir semua musisi besar sepanjang sejarah sampe dengan perkembangan industri sekarang dipastikan bakalan bikin wawasan kita jauh lebih luas daripada nyari2 info sendiri lewat perpus, nanya2 senior, or kelayapan di internet.

Ibarat mendoan anget dah tersaji, yang harus kita lakukan cuman tinggal lep.

Yummy!

Setelah informasi n kompetensi didapet –baik secara formal atau non-formal– hal berikutnya adalah membuat bisnis dengannya. Networking adalah salah satu manfaat otomatis yang didapetin kalo kita ambil rute kuliah. Sementara itu, networking kalo pake rute otodidak bakal selalu jadi pilihan yang kurang menguntungkan karena kita musti gerilya jumpalitan dengan gigih untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Kalo dari segi manfaat ekonomi, di level puncaknya bisa dibilang kita bakal ngeluarin biaya tuition yang nggak sebanding sama demand dari dunia industri untuk sebuah high art yang hanya sekian persen populasi dunia mampu dan mau mengapresiasi. So kuliah dibidang lain dengan target steady job non freelance adalah pilihan yang berdasarkan statistik lebih ok kalo dari segi economic reward. Makanya, kebanyakan musisi berdegree tinggi ilmunya cenderung lebih bermanfaat secara ekonomi di dunia edukasi (non freelance), daripada via karya seninya (freelance).

Walo begono, seperti yang dah ta tulis sebelumnya, belajar musik sampe mentok (rute tergampil via kuliah) itu bakalan bikin kita jadi musisi yang lebih komplit, semakin memperkaya perspektif n wawasan, n lebih kompeten untuk berkontibusi membangun peradaban, dll. Dan sertifikasinya bakal banyak bantu bagi yang pengen explore ke sisi psychology/science/math dari musik. So, edukasi musik jelas terus berkontribusi besar bagi pembangunan peradaban sampe era sekarang.

Update ide diskusi dari seorang reader, 30/12/19 :

Apakah karir di musik industri hari ini adalah luck-based?

 

Argumen : Berbeda dengan industri2 kebanyakan yang seringkali mukul rata semakin menghargai kedalaman pengetahuan terhadap disiplin ilmu nya dengan kompensasi finansial, di industri di musik yang begonoan bisa dibilang grafiknya bukan perbandingan lurus. Kita tau penggerak industri adalah aktivitas finansial. Yang lebih dibutuhkan industri adalah orang2 yang mampu menginspirasi orang banyak via musik, relatif terlepas dari pengetahuan pribadinya terhadap ilmu bermusik pada umumnya. Sampe pada titik tertentu, kita emang perlu ilmu n skill untuk mencapai kesepakatan standar industri. Tapi selebihnya itu urusan subjective n seringkali malah overkill, mengingat sebagian musik hari ini cenderung hanya diliat sebagai latar doang, dan kebanyakan musisi datang dan pergi begitu cepat.

Counter-argument : Not really. Luck itu kesannya terlalu random. Mungkin lebih pas kalo pake term probability-based. Orang yang dah belajar musik mustinya lebih mampu memperkirakan apa yang audiences inginkan, dan bisa melihat musik sebagai produk layaknya semacam tools or perkakas yang bisa dibikin sesuai demand. Di industri, para musisi bukan lagi bermusik untuk ekspresi pribadi, tapi bikin produk untuk dikonsumsi sebanyak2nya publik. Musiknya nggak harus mewakili personality si musisi. So, semua musisi yang punya fleksibilitas bakal punya chance lebih tinggi untuk beradaptasi di industri. Kalo di pilem, ibarat Johnny Depp yang bisa maen macem2 vs Steven Seagal yang gitu2 doang. Ilmu di musik akan membuka fleksibilitas dan chances.

Johnny Depp

Trivia n sekilas tokoh2 keren dunia edukasi yang tulisan2nya bisa bantu menginspirasi :

 

  • Berklee dulunya bernama Schillinger House yang berasal dari Joseph Schillinger, seorang mathematician/music theorist/composer/educator, yang ngajarin Gershwin, Benny Goodman, n musisi2 serem lainnya, termasuk Lawrence Berk yang bikin Berklee.
  • Sementara itu, Juilliard disupport oleh Nadia Boulanger seorang composer/educator dari Perancis, n ngajarin Aaron Copland, Elliot Carter, Barenboim, Philip Glass, Quincy Jones, n musisi2 yang superserem lainnya.
  • Russia? Ada banyak nama2 komposer yang juga merupakan theorist dari berbagai generasi, terutama sejak era romantic. Untuk era modern, Yuri Kholopov, seorang theorist/musiclogist/educator dari Moscow Conservatory bisa jadi rujukan utama. Beliau punya pendekatan synthesis yang cukup bisa menjelaskan musiknya Prokofiev, yang normalnya nggak bisa dijelasin pake pendekatan Schenker, Teori Transformasi (Neo-Riemannian n pan-modality) n Set Theory secara terpisah2.

Sedikit tambahan, beberapa hal yang bisa disimpulkan setelah ngider kesana kemari selama beberapa taun :

 

  • Mau setinggi apapun tingkat pemahaman kita di dunia musik, radar kita bakalan selalu nangkep bahwa ada banyak banget musisi yang super-duper serem dimana2, dan mereka sebagian besar bisa juga terlihat super rapi bagaikan perwakilan dubes suatu negara. Waspadalah wahai para musisi pemula n audience awam yang masih mengira kesereman musisi bisa diukur dari penampilannya (misalnya yang keliatan jelas, kaya jeans-sobek-rambut-gondrong-shredding-sana-sini. No offense). Bisa jadi orang yang terlihat culun yang lagi duduk di sebelah kita adalah musisi serem yang males2an buat nongol di radar. Or, radar kita yang masih terlalu culun untuk bisa mendeteksi frekuensi keberadaan mereka. Intinya, ini serius beneran, jangan percaya stereotype, dunia itu luas banget, para musisi bisa aja lebih serem daripada keliatannya.
  • Salah satu fakta yang akan kita dapatkan ketika belajar musik secara komplit adalah, betapa subjective-nya musik itu bagi semua orang. Even if seandainya Kufaku jadi hits no 1 di dunia selama beberapa dekade, maka theorist n standar edukasi global akan berusaha mencoba menjelaskannya dari berbagai sisi kenapa itu bisa terjadi, musically, supaya orang2 bisa mengapresiasinya di level yang lebih dalam, mampu mereplikasinya, or bikin sesuatu yang baru berdasarkan prinsip2 nya. Karena subjectivitas itulah, kebanyakan orang merasa cukup untuk mempelajari musik sebatas hanya untuk mendalami seleranya masing2 aja, dan itu juga emang dah cukup untuk jadi modal utama bersaing masuk liga utama di industri.
vocalist microtonal dari Kufaku
  • Disisi lain, orang2 dengan pemahaman luas soal musik akan lebih bermanfaat secara maksimal di ruang kelas sebagai guru/dosen/educator, karena mampu menjawab sebanyak2nya pertanyaan2 dari music enthusiast. Untuk berekspresi secara fisik, mereka bisa juga menggunakan kemampuannya untuk aktif di studio, maen session, n berkontribusi di komunitas lokal. Mereka sebenarnya secara teknis jelas berkompeten untuk ikutan nyemplung di liga utama industri, tapi mereka umumnya relatif terlalu santai untuk bersaing buat dapetin spotlight karena ada begitu banyaknya hal2 menarik dari musik yang bisa mereka lakukan.
  • Ngotot bener salah dalam bermusik adalah sesuatu yang sangat konyol. Dan konyolnya, saya sendiri dulu pas awal belajar teori juga pernah terlibat kekonyolan itu dalam beberapa forum diskusi musik. Heheh, darah muda, harap maklum.
  • Karena karakternya yang subjective, “teori musik” sebenarnya bisa juga disebut dengan “musik menurut”. Jadi “teori musik by Paijo” bisa disebut “musik menurut Paijo” Ini juga berlaku untuk orang lain including Phytagoras, Al Farabi, Guido Arezzo, Rameau, Schenker, Schoenberg, Bartok, Hindemith, Riemann, Slonimsky, Forte, Straus, Schillinger, Kholopov, Caplin, Gjerdingen, Tymoczko, Terefenko, Yamaguchi, dst, sampe ke Ian Ring, n gitaris kita Ery Setyo! Mereka nggak dipahami sebagai “teori yang ditemukan oleh (X), dijadikan kitab suci keramat oleh ummat musisi sedunia”. Mereka masing2 menggunakan pendekatan personal yang berbeda untuk menjelaskan fenomena2 yang serupa dan saling terkait. Mempelajari sebanyak2nya teori akan menambah wawasan dan pemahaman kita tentang musik.
  • Ini adalah contoh2 yang paling terkenal dari perbedaan perspektif dalam teori : octatonic scale bisa dideskripsikan sebagai susunan not dengan interval bergantian antara 1/2 step dan 1 step, atau sebaliknya. Doi juga bisa dibilang terbuat dari 2 buah akord dim7th berjarak perfect 5th. Doi juga bisa juga dibikin dari 2 buah akord Fr+6 berjarak perfect 5th. Bisa juga dibikin dari sebuah chromatic scale dikurangi sebuah akord dim7th. Hexatonic scale terbuat dari 2 buah aug triad berjarak perfect 5th. Whole tone scale terbuat dari 2 buah aug triad berjarak yang maj 2nd. Thelonious Monk dikenal menganggap akord half dim sebagai akord minor dengan 6th di bass, or min6 inversi ke 3. Liszt B minor sonata bisa dilihat sebagai sebuah movement dari sonata form berisi exposition-development-recapitulation-coda, or bisa juga 3 buah movement dari sonata form berisi first movement-slow movement-finale. Berbagai perspektif yang berbeda2 ini akan berguna di berbagai sikon yang berbeda, sebagaimana konsep soal enharmonic. Maka dari itu, pelajaran berikutnya setelah tau basic nama2 not dan berbagai konsep2 harmony adalah tentang perspektif dan konteks. Dah, itu doang sampe mentok studi. Lha coba aja diamati, wong kita dah beberapa abad cuman dikasih 12 notes doang tapi bisa menghasilkan begitu banyak variasi musik.
Perspectives
  • Hafiz Osman dari IMDI publish ‘Akor Jazz’ yang menggunakan pendekatan Schenker di sikon jazz. Ery Setyo juga dah 10 taun on-off riset untuk publikasi lanjutan dari ‘Guitar Robot’ berdasarkan set theory yang di kombinasikan dengan konsep parsimony n symmetry dari Pat Martino. Belakangan doi ngaku sibuk merembet masukin konsepnya Ian Ring, trus biar komplit ta sodorin sekalian konsepnya Yamaguchi. Entah update berikutnya nanti bakal melar segede apaan, heheh. BTW, kalo ada yang berminat untuk nekat mencoba publish teori sendiri, coba pantengin dulu jurnal2 musicologist, n debat2 nya di berbagai publikasi. Nanti teori yang survive dari debat n argumennya dianggap masuk akal bakalan diadopsi oleh kampus2 sebagai standar materi. 3 teori analisis yang paling banyak digunakan sekarang adalah Schenker (tonal), Teori Transformasi (structural, non-tonal) dan Set Theory (yang mampu menjelaskan musik non-structural n non-tonal, tapi bisa juga dipake untuk musik structural n tonal diliat dari perspektif gruping n combinatorics, yang asalnya dari dunia matematika). Teori2 analisis lainnya yang nongol belakangan kebanyakan menggunakan 3 itu sebagai dasar dari argumennya. Ada juga perspektif baru dari 1 dekade kebelakang yang layak ditowel disini karena cukup berkontribusi pada dunia improvisasi, sampe Carl Schachter n Edward Aldwell ikut masukin ke edisi terbaru dari ‘Harmony & Voice Leading’, yaitu ‘Galant Schemata’ dari Robert Gjerdingen yang membahas klasifikasi idiom2 dari musik era classical menggunakan figured bass yang diliat dari sudut pandang Italian School (Naples).
  • Dalam hal struktur musiknya, bisa disimpulkan modern jazz adalah hasil fusion dari hal2 terbaik yang ada di musik2 era sebelumnya. Skema harmoni andalannya (ii-V-I) berasal dari era awal tonality (baroque). Parsimony chromatic voice leading n konsep substitusi berasal era romantic. Modality dan penggunaan exotic non diatonic scales berasal dari era impressionism. Non tertian harmony (quartal, quintal, dan secundal), konsep superimposisi upper structure (polychord) berasal dari era awal modernism. Beberapa theorist keren yang jadi referensi berbagai kampus diantaranya Mark Levin n John Mehegan. Sayangnya, jazz seringkali bukan hidangan utama dari kampus2 n konservatori musik. Salah satu sebabnya mungkin karena emang lebih susah menganalisa n ngajarin sesuatu yang secara turun temurun diajarkan secara oral tanpa script.
  • Alasan lainnya adalah, walopun sering di asosiasikan dengan improvisasi dan maen outside, sebenarnya jazz nggak sebebas yang orang2 kira. Untuk bisa maen jazz sesuai tradisi mainstream, kita paling tidak harus memenuhi 3 syarat : Steady tempo dengan swing feel, struktur tonal harmony yang kompleks dengan penekanan root pada bass, dan adanya konsep avoid note. Sebaliknya, classical musik malah justru nggak se-kaku yang orang2 kira, n cakupannya justru lebih luas dari jazz. Di classical, kita bebas bermusik pake prinsip2 jazz yang dikombi dengan tempo rubato, menggunakan berbagai system harmony dengan inversi2nya, n bebas maen2 pake set theory. Mungkin satu2nya yang tabu di classical adalah penggunaan syncopation di tradisi Baroque. Disitu diharamkan mengaksen not 1/16 ke 2 dari sebuah beat (“e” pada “1-e-and-a”, or “ke” pada “ta-ke-di-mi” bagi yang belajar subdivisi dari musik carnatic India).
Jazz
  • Alasan lainnya lagi adalah, semua yang terdapat di jazz bisa dibilang juga ada di classical musik. Improvisasinya juga ada, n relatif lebih seru, tapi cukup berbeda doktrinnya. Karena jazz sering dieksekusi secara social (jamming), maka doi menggunakan struktur lagu yang berulang2, lalu kita sekedar dikasih space untuk bikin rute yang fancy dari point A ke point B. Di classical, pendekatannya lebih mirip kaya kita maen Lego. Kita diberikan beberapa not sebagi motif or theme, untuk kemudian bikin sebuah komposisi spontan berdasarkan not2 tersebut. Versi classical ini jelas lebih susah daripada jazz, karena kita musti nambahin berbagai not disana-sini, masing2 sertai pertimbangan konteks-nya. Sementara di jazz, struktur n konteksnya dah tersedia tinggal nyambung2in not2 doang. Classical itu beneran luas, sampe bisa dibilang semua konsep bermusik dari semua teori, asalkan masih menggunakan 12 not per oktav itu bisa di eksekusi di lingkungan classical. Dan sebegitu bebasnya di classical, sampe pas kita mempelajarinya bakalan disodorin materi bermusik pake konsep random notes (atonal serialism n indeterminism). Trus bahkan uniknya ada juga musisinya yang bermusik cuman pake silent, dah gitu dijual pula lagu n partitur nya (cek the famous John Cage’s 4’33).
  • Untuk mencapai keseimbangan dalam hidup, kita seringkali musti bisa jawab pertanyaan “how far is too far?” dalam berbagai hal. Dalam bermusik dari tradisi barat, batasan pribadi saya sejauh ini adalah serial atonalism n indeterminism. Bermusik yang hanya menggunakan unsur acak dipastikan selalu gagal diterima audience umum di semua era, sejak sebelum prasejarah sampe sesudah kiamat. Nggak ada audience normal yang dengerin musik pake kaca pembesar, dengan misi untuk mengapresiasi betapa keren pilihan not acaknya. Improvisers normalnya nggak perlu buang2 energi, waktu n duit buat mempelajarinya. Walo begono, konsep2 avant garde n experimental musik berdasarkan cells n symmetry masih punya peluang untuk kepake.
  • Sebagian besar theorist modern menguasai bermacam2 konsep pendekatan dalam bermusik. Masing2 konsep ini begitu luas sampe bener2 dipastikan nggak mungkin semuanya mampu untuk secara fisik diterapkan dalam permainan musiknya sendiri. Hasilnya, theorist jaman now beda sama jaman dulu. Theorist jaman dulu itu merangkap sekaligus komposer n performer karena secara konseptual lingkup materi musiknya masih relatif kecil. Nah jaman now, saking luas bahasan musiknya sampe antara teori-komposisi-performance nggak bisa lagi dipush maksimal bersamaan. Makanya sekarang ada banyak musisi yang khatam teori or jago composing macem2 tapi nggak beneran secara fisik jago untuk maen musik. Sebaliknya, ada juga banyak orang yang jago maen musik yang cuman tau basic theory, n dasar2 komposisi doang.
How Far is Too Far?
  • Keyword yang paling ok kalo mau ngulik musik sendiri adalah, mencoba mamam berbagai subject dengan parameter “cukup menarik, sekaligus tidak terlalu sulit dilakukan”. Hal yang nggak menarik nggak akan bikin kita termotivasi. Hal yang terlalu sulit bakal bikin frustasi. Hal yang terlalu gampil bakal bikin bosen. Bagi yang ambil rute otodidak, pastikan kita selalu open mind n tertarik untuk nyobain explore ke area yang seluas2nya. Dengan begono selisih sama rute akademis pada akhirnya bisa diminimalisir, sampe ke beda soal sertifikat doang.
  • Ngeberesin studi musik sampe mentok bisa dibilang hal yang susah, even if semua variabel disekitar kita mendukung penuh sekalipun. Untuk memotivasi, kita sebaiknya jangan berpatokan kepada betapa berat perjuangan untuk mencapainya, tapi pada betapa keren sensasi pencapaiannya dan hal2 yang bisa kita lakukan saat berhasil mencapainya.
  • Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang. Stay hungry, stay young, stay foolish, stay curious, and above all, stay humble!