senar
Classical Music Fundamentals bagian 5.1 : Melody, Tuning & Ratios
Setelah nyenggol dimensi pertama musik yaitu rhythm, meter n duration, sekarang tiba waktunya tuk nyenggol dimensi kedua : melody. Dalam musik, melody biasanya menempati range yang relatif tinggi dalam term pitch (yoi, yang dipake biasanya adalah treble clef yang keliatan mlungker mirip biola tea). Apakah melody kagak boleh berada di mid or bahkan low pitch? Tentu saja boleh, tapi efeknya nggak se-nonjok kalo ditaro di high register. Kebanyakan orang akan setuju kalo melody di range high cenderung lebih gampil didengerin. Why is that? Ini sebenernya masih nyambung sama tulisan sebelumnya (Classical Music Fundamentals bagian 4.1 : Partials, Overtones & Synthesizer). Berhubung melody biasanya cukup aktif, doi perlu dieksekusi dengan soundwave yang lebih pendek, cepet clear dengan mild-minimal interference (overtones). Di electric gitar, ini berarti maen di senar plain (unwounded). Di piano, patokannya kira – kira C4 keatas. Dengan begono, doi terdengar dengan lebih jelas detilnya.
Lalu berikutnya tentang pitch. Tradisi western music lebih cenderung menggunakan notasi daripada musik – musik dari daerah lain di dunia. Ide tentang penulisan pitch ini udah ada sejak sekitar abad ke 9 di negara – negara di Eropa. Tapi system yang populer digunakan pada waktu itu (neumatic notation) hanya terdapat simbol untuk pergerakan melodi secara umum naik or turun tanpa detil seberapa jauh musti naik n turun. Lalu di Italia sekitar taun 1000 an, Guido of Arezzo memperkenalkan grid garis paranada. Awalnya 4 buah, lalu 5, bahkan 6, lalu kembali ke 5 saat abad ke 15 an. Di tahun 1000- an itu juga mulai ada label notasi dari A sampe G
Lah, kenapa cuman sampe G? Kagak ada not H, I, J, K, dst?
Karena oktaf. Senar dari not yang lebih tinggi bergetar 2x lebih cepet daripada not yang lebih rendah. Dan karena bunyinya sama, nama abjadnya juga sama. Hal ini bernama octave duplication.
Faktanya, semua kultur musik di dunia dari Cina, Jepang, Indonesia, India, Africa, dll, menggunakan octave duplication di musiknya (silakan kroscek ke para ethnomusicologist). Namun begono, tiap kultur membagi oktaf dengan cara yang berbeda – beda. Ada yang sampe kurang dari 12 not per octave, ada yang lebih. Dan frekuensi tuningnya juga berbeda dari 12 tone equal temperament tuning system yang dianut oleh western music, bikin mereka kedengeran eksotik beneran. Tentu saja yang sering para gitaris ributkan (lebih tepatnya para shredder-wannabe yang umumnya kebingungan bagaimana cara make scale biar solonya kedengeran tasty, menyangka bahwa musti make scale-scale aneh), seperti study bermacam-macam exotic scales, yang nyatanya kagak akan beneran bunyi eksotik seperti seharusnya, wong formula intervalnya aja merupakan versi kompromi yang make western tuning. Apakah gamelan bisa dimainkan dengan western tuning? No. Paling maksimal, sekedar kedengeran mirip, it pun bagi orang awam. Tau formula da mi na ti la (or formula exotic scale lainnya) nggak akan beneran membantu maen eksotik secara otentik kalo kita masih make western ‘standard’ tuning.
Kesimpulannya, exotic scales nggak akan bunyi eksotis beneran kalo sekedar make formula interval, tuning-nya juga musti diubah. Dulu Dojo Gitar udah pernah ngebahas pelog n slendro di workshop reguler ke 4 :
https://ditomusicman.wordpress.com/2013/10/29/workshop-iv/
Ravi Shankar (RIP), seorang sitar virtoso, memainkan Indian raga dengan 6 notes per octave. Norah Jones, putrinya, juga memainkan 6 notes per-octave, dengan pattern yang berbeda : Blues scale. Untuk contoh 5 note pattern (pentatonic scales) adalah musik traditional dari China dan Indonesia.
BTW, kenapa western music make 7 notes dalam diatonic scale? Jawabannya kembali pada teori musik era Yunani Kuno. Orang Yunani Kuno itu kayanya beneran geeky n nerdy tentang matematika, karena matematika adalah cara mereka untuk menjelaskan hal-hal yang ada di dunia, yang termasuk diantaranya adalah musik. Mereka make ratio, 2:1 untuk octave, 3:2 untuk 5th, 4:3 untuk 4th, 9:8 untuk satu tone (2nd), dst.
Prinsip ratio ini bikin diatonic scale di tuts piano keliatan aneh, asimetris kalo diliat dari A dan C. Ini gara-gara E-F dan B-C yang berjarak 1/2, bikin ada 2 tuts putih bersebelahan tanpa tuts item ditengahnya. Tentang simetris, secara chromatic tuts piano sebenernya simetris kalo dilihat dari D, dan G#.
Orang Yunani Kuno juga punya beberapa pattern seperti mixolydian, hypomixolydian, phrygian, hypophrygian, dan banyak lainnya, tapi untung saja pada abad 16 or 17 standarnya dipersimpel dengan hanya 2 pattern utama, major n minor.
Bersambung..
Classical Music Fundamentals bagian 4.1 : Partials, Overtones & Synthesizer
Pernah liat spectrograph pas maen or nge-take? Itu loh, semacem spectrum analyzer (heheh) yang biasanya ada di dalam DAW, sering dipake para engineer tuk bantu ‘visualisasi sound’ saat mixing. Penasaran kenapa pas maenin hanya sebuah not, yang nongol di chart frequency malah ada banyak?
Ketika sebuah not dibunyikan dari sebuah instrument analog, mau itu piano atau gitar or apapun, sebenernya kita nggak hanya mendengar sebuah fundamental pitch, tetapi juga beberapa pitch lain dengan kadar yang cukup kecil. Daftar deretan beberapa pitch lain ini seringkali disebut deretan overtones (bisa sampai dengan 32 partial, bahkan lebih). Besarnya (amplitude) tiap partial overtones ini bervariasi tergantung karakter fisik dari instrument-nya.
Idealnya, overtones dari sebuah senar yang bergetar adalah merupakan tepat harmonic dari fundamental frekuensinya. Tapi overtones dari senar piano kagak beneran tepat di harmonics nya, terdapat sekian cent deviation yang sering disebut inharmonicity. Hal inilah yang bikin sound piano khas punya ciri ‘warmth’. Bunyi artifisial piano dari synthesizer juga bakal kedengeran lebih alami kalo didalamnya ikut dimasukan algoritma tentang inharmonicity.
BTW, perihal harmonic overtones sudah pernah disenggol dikit dalam tulisan sebelumnya, silakan cek :
Karakteristik amplitude dari deretan partial ini juga tidak seperti grafik volume yang kena threshold envelope fade-out (curve line gitu, teratur makin lama makin kecil), tetapi cenderung rada random, beberapa partial yang berjarak lebih jauh dari fundamental bisa saja punya amplitude lebih tinggi.
Berikut ini adalah daftar partial overtones dari semua not A di piano Steinway B, berdasarkan artikel edukasi “Aural quality piano tuning” yang ditulis oleh The Alabama High Field Nuclear Magnetic Resonance (NMR) Center. Tiap not A direkam dari transient sebuah senar (hanya senar tengah dari not dengan 3 senar, dan senar yang lebih tinggi dari not dengan 2 senar. Not lain di mute dengan karet peredam) yang dibunyikan dengan dinamika sekitar mf or f :
Variasi besar kecilnya deretan partial ini berkontribusi langsung dengan karakter dan warna dari bunyi yang kita dengar. Banyak (dan tinggnya masing – masing amplitude) membuat sebuah not terdengar tebal, dan sedikit (dan rendahnya masing – masing amplitude) membuat sebuah not terdengar tipis. Dalam harmony (impro, compose, arrange), not yang terdengar tebal umumnya dibunyikan bersama dengan not lain dengan interval yang berjauhan, sehingga partial overtonesnya nggak terdengar jelas bertabrakan, a.k.a. muddy (silakan cek cara para bassist dalam maen akord, dijamin nggak ada yang nekat pake close voicing, kecuali mungkin Bill Dickens dengan 9 senarnya). Sementara itu, not yang terdengar super tipis, mereka bahkan bisa secara experimental dimainkan berjarak chromatic (pianist bisa nekat maen G, G#, A, Bb di oktaf ke 7 bersamaan, bisa berfungsi untuk extension dari C dominant misalnya, dan terdengar acceptable).
Pada electronic synthesizer, kita bisa membentuk karakter bunyi yang menyerupai instrument analog dengan memanipulasi langsung tiap partial, dengan menaikkan atau menurunkan amplitude nya, walopun umumnya sebagian besar produk sampai dengan hari ini tetep aja nggak bisa ngibulin kuping para expert. Well, sebenernya ada beberapa pengecualian, diantaranya yang berikut ini:
- Dalam hal keyboard workstation : Banyak orang setuju kalo bunyi factory presets berbagai orchestra instruments dari Kurzweil seri K, yang notabene sudah cukup berumur (K2000 sudah ada sejak taun 90-an), adalah exceptional, dan sampai sekarang masih tetep terdengar lebih organic daripada kompetitor terbaru yang paling heboh sekalipun (Korg Kronos). Kemungkinan besar hal ini bisa dicapai karena arsitektur VAST yang emang dari awal cukup gokil dibantu dengan programming yang handal dari pihak Kurzweil. Seri PC3K8 yang merupakan generasi terbarunya (2011), menurut beberapa sumber merupakan jawaban dari Kurzweil atas request dari Andrew Lloyd Webber (The Phantom of the Opera) yang meminta dibuatkan custom synthesizer untuk karya musicalnya di 2012, “Love Never Dies”. Andrew Lloyd Webber juga secara resmi mendukung Kurzweil dan telah menggunakannya seri K sebelumnya (K2600) untuk produksi “Miss Saigon” dan “Wicked”. Kurzweil bukanlah nama asing di Broadway.
- Dalam hal digital stage piano, perkembangan teknologi (terutama processor) saat ini memungkinkan pendekatan baru untuk mencapai tingkat realisme yang super gokil dan bahkan lebih dari itu, via physical modelling. Dari flexibilitynya, kita bisa menganggap doi merupakan kelanjutan evolusi dari tahap sample based yang sekarang juga sebenernya udah sangat gokil (cek Ivory II software yang dikembangkan oleh mantan programmer Kurzweil). Physical modelling bikin kita bisa seolah punya instrument analog (apapun), bahkan yang belum pernah dibikin fisiknya, dengan sound yang secara teori cukup akurat. Misalnya kita bisa experiment dengan bunyi piano dengan panjang hanya beberapa cm, or dengan senar sebiji doang tiap not, dll, tanpa musti ‘nge-custom’ duluan ke luthier (gokil, emangnya gitar To? Eh BTW gitar juga ada physical modellingnya loh, kan termasuk instrument analog). Ada cukup banyak produsen physical modelling synthesis, salah satu hardware yang cukup gokil adalah Physis Piano oleh Viscount (Italia). Dengan hanya sekitar 4-6 user editable macro parameter (yang masing – masing punya banyak micro parameter) per sound engine, dan deretan berbagai macam built-in processor efek, doi sangat practical untuk membuat pro original modelling sound dengan cepat.
Entahlah teknologi apalagi nanti yang bakal nongol, wong sekarang aja udah super gokil gini..
Bersambung..
Classical Music Fundamentals bagian 2 : Terms, Instruments & Genres
Ada orang bilang “Gua kemaren dengerin lagu 5th Symphony nya Beethoven cuy”. Apakah 5th Symphony nya Beethoven tepat disebut ‘lagu’ or ‘song’? Kalo kita liat di iTunes sih iya, semuanya bunyi2an yang nongol disitu disebut ‘song’. Sebenernya istilah ‘lagu’ or ‘song’ itu cenderung lebih tepat diterapkan pada musik ber-lyrics (text). Beethoven’s 5th Symphony pan nggak ada lyrics-nya, makanya rada aneh kalo kita nyebut “lagu-nya Beethoven”. Trus apa dong? Biar lebih presisi, orang lebih sering menyebutnya dengan composition (komposisi), or piece, or masterworks, dll. 80% classical music itu nggak ada lyrics-nya (kecuali opera), sebagian besar murni magical instrumental music.
Istilah composition, or piece ini memang cenderung merujuk pada genre tertentu pada musik, yaitu classical music. Genre sebenernya adalah istilah keren dari type or jenis. Genre musik berarti type musik or jenis musik. Dalam genre, ada yang namanya sub-genre. Symphony merupakan sub-genre dari classical music. Symphony punya 4 movements. Movement adalah piece independen, yang saling melengkapi dalam symphony. Movement ini biasanya tersusun dengan urutan karakter sebagai berikut :
- Fast opening movement.
- Slower, more lyrical movement.
- Dance
- Finale, uptempo, fast, conclusion.
Pada opening Beethoven’s 5th Symphony, kita mendengarkan melody dengan rhythm kaya orang ngetok pintu. Melody ini termasuk kategori motive. Motive adalah ide2 pendek (cell) berupa rhytmical melodic pattern yang bisa digunakan untuk membangun frase musical. FYI, frase musical adalah cara pengelompokan not – not dalam melody. Hal ini kontras dengan 2nd movement dari Beethoven’s 5th Symphony, yang musiknya terdengar lyrical, panjang dan mengalir. Doi termasuk kategori theme. Theme cenderung lebih panjang dan lyrical. Di 3rd movement, saat brass masuk, kita bakalan inget sama motive dari 1st movement. Itu salah satu contoh tergampil bahwa tiap piece dalam symphony itu masih terhubung dan saling melengkapi. Saat nyampe 4th movement, mood kita langsung berubah drastis dibandingkan saat pertama denger opening di 1st movement. 1st movement yang bikin kita gloomy, despair n negative, saat finale kita berasa upbeat, positive. Kenapa bisa begono?
Gampil, 1st movement-nya based on minor tonality, 4th movement nya based on major tonality 😉
Lalu pemilihan instrument yang dibunyikan juga ngaruh. 1st movement make violin, dan 4th movement nya make trumpet (‘THE’ heroic trumpet), kedengeran triumphant (mirip BGM Final Fantasy tiap victory habis monster battle).
Sub-genre lainnya adalah concerto, umumnya terdiri dari 3 movement. Concerto adalah jenis classical music dimana soloist akan ‘ngobrol’ dengan orchestra, mirip tanya jawab. Contoh yang akan dibahas disini adalah Tchaikovsky Piano Concerto.
Opening 1st movement nya merupakan motivic melody. Lalu selanjutnya violin bermain theme, sementara piano maen chordal comping, in octave. Selanjutnya, dengan sangat keren, piano gantian maen theme dengan berbagai ornamentation, dan strings gantian comping make pizzicato. Lalu piano maen motive sebentar berdua berbalesan dengan string’s pizzicato, kemudia orchestra masuk lagi, dan piano maen chordal comping lagi. Tuk para elektrik gitaris yang kemungkinan besar lebih familiar dengan situasi blues jamming yang bales2an licks, bisa menganggap ini adalah versi orkestranya yang lebih sophisticated.
Moga2 para pembaca tulisan ini jadi makin bisa mengapresiasi dan makin demen musik klasik setelah membaca penjelasan singkat diatas. Musik klasik dan orkestra itu super keren. Doi merupakan nenek moyang musik modern. Walaupun kita nggak maen traditional classical music sekalipun, banyak informasi yang bisa didapatkan dari mendengarkan dan mempelajari musiknya.
Sub-genre lainnya adalah tone poem (1 movement), opera, cantata, sonata, dan ballet, mungkin nanti akan disenggol sedikit di tulisan selanjutnya.
Tiap instrument mempunyai perbedaan overtones dalam tiap pitch yang dibunyikan. Terompet yang disuruh bunyiin C bakalan kedengeran beda sama oboe yang disuruh bunyiin C di oktaf yang sama. Perbedaannya di level dari overtonesnya, bikin sebuah pitch kedengeran fat or thin.
Q : Makin ngelindur nih orang. Bentar To, lo masih gitaris kan? Ini tulisan juga dipajang di Dojo Gitar kan?
A : Yoi, don wori, ini info supplement biar kita makin paham betapa luasnya musik 😉
Dalam situasi gitaris dengan gitarnya, tiap senar punya harmonic overtones nya masing2. Ketika sebuah pitch dibunyikan, kita sebenernya juga membunyikan beberapa pitch lain diatasnya, cuman nggak terlalu kedengeran dominan. Doi bernama overtones. Overtones ini mempunyai pitch yang sama atau berhubungan dekat secara harmonic dengan pitch utama yang kita dengar (fundamental frequency). Cara tergampil buat ngeluarin (emphasize) overtones, silakan mainkan senar pertama open E, kita bisa membunyikan natural harmonic :
- Fret 12 : E (2:1), overtone pertamax.
- Fret 9 : G# (5:1), overtone keempat.
- Fret 7 : B (3:1), overtone kedua.
- Fret 5 : E (4:1), overtone ketiga.
- Fret 4 : G# (5:1) overtone keempat.
Daftar diatas hanyalah harmonic overtones yang paling gampil bisa dibunyikan semua orang, including beginner, dan sering nongol di kebanyakan buku pelajaran gitar. Sebenernya masih banyak lagi overtones yang bisa diexplore. Buat para nerdy n geeky, link ini adalah daftar yang bisa dieksplor dari berbagai open strings, pitch yang lokasi nya tidak terdapat di daftar diatas akan lebih gampang dibunyikan kalo dibantu dengan distorsi di ampli :
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/21/Table_of_Harmonics.svg
Intensity dari overtones menentukan timbre, color n karakter bunyi tiap instruments, termasuk perubahan clean electric guitar ke overdrive ke distortion. Tuh kan materinya nyambung sama gitar lagi.
Nah sekarang kita udah rada kenal apa itu symphony, dan pentingnya theory bagi musisi beneran. Jadi semoga nggak ada lagi orang yang ngaku musisi ngasal ngebahas symphony tapi ngremehin theory.
Bersambung..
Workshop IX
Ringkasan Materi Workshop IX :
- Guthrie Govan adalah salah satu gitaris kelas berat dunia, yang paham sangat banyak hal tentang gitar, termasuk maen dari berbagai style secara otentik. Kalo ada kesempatan ikut Masterclassnya, usahakanlah tuk datang. Beliau bisa mengajarkan sangat banyak hal daripada sekedar bikin kita jago maen.
- Jago maen blom tentu paham. Saat kita berangkat ke Masterclass beliau, sebaiknya misi kita adalah untuk lebih paham tentang gitar. Soal jago, burung beo juga jago ngomong.
- Improvisasi yang nggak pernah salah pencet not itu sangat mungkin kita lakukan kalo kita punya informasi yang cukup. Coba pelajari CAGED System. BTW, CAGED System itu juga digunakan oleh Guthrie Govan himself.
- Improvisasi itu bukan bermain scale/modes naik turun, secara random gimana jari. Tidak semua not dalam scale /modes itu fit pada akord yang sedang dibunyikan. Silakan coba bunyiin F (not ke 4 dari skala C mayor) saat akord C triad dibunyikan. Kita perlu penerapan in-context terhadap semua hal yang kita pelajari di teori musik.
- Gitaris yang punya total control terhadap jarinya bisa ngebunyiin macem2 line, dan saat impro, kemungkinan jari2 nya akan bergerak tanpa pola yang itu2 saja. Para improviser beneran, bisa maen licks, tapi tidak terpaku pada licks tertentu saja.
- Kenapa disebut improviser beneran? Karena ada juga improviser yang bluffing (Andreas Oberg bilang ‘Fake Improviser’). Impro tanpa ngerti konteksnya terhadap struktur lagu adalah bluffing.
- Sebelum maen, ada baiknya kita melakukan warming up (mana ada atlet olimpiade bangun tidur langsung sprint 100m tanpa warming up?). Ada beberapa opsi tentang warming up dari yang digunakan di Berklee hingga yang dikembangkan secara personal oleh para artist. Yang dipilih oleh peserta workshop kemaren adalah dari 30 hours guitar workout nya Steve Vai (Guitar World) yang berjudul Angular Picking Exercise.
- Ada 4 permutasi warming up Steve Vai disitu. Targetnya adalah independensi fretting hand dan koordinasi left-right dengan jalur string skipping hingga 2 senar, menggunakan alternate picking (versi aslinya make economy picking). Ini termasuk dalam latihan fingering yang berat (memang dipersiapkan tuk maenin lick akrobatik nya Steve Vai saat live).
- Secara mengejutkan latihan ini bisa dikunyah dengan santai oleh salah seorang peserta, sementara beberapa peserta lain mlintir dan frustasi. Heheh, pelan2 dulu guys.. Yang bikin juga Steve Vai.
- Materi ‘Kamuflase Akord : Inversi dan Slash Chords’ dan ‘Lagu : I Got Rhythm/The Flintstones’ belum sempet dibahas karena Paman Yosi lagi sakit. Kita doakan bersama agar beliau cepat pulih dan kembali musical lagi.
- Saat Workshop disediakan beberapa ampli, bisa digunakan untuk 4 electric instruments. Tapi sayangnya saat ini hanya tersedia 1 gitar elektrik tuk peserta (1 lagi untuk Sensei). Silakan kalo mau bawa gitar sendiri biar bisa langsung nyobain tanpa gantian ngantri.
Untuk info lengkap tentang Workshop X, silakan cek : https://www.facebook.com/events/1380989228818472
Kapalan
Q : Kapalan itu ada levelnya juga gak mas?
A : Hmm, mungkin secara umum orang nggak akan melakukan klasifikasi kapalan dengan level2 tertentu.
Tapi kalo kita amati lebih mendetil, mungkin sebenernya memang ada tingkatannya. Contoh ter ekstrim : orang yang terbiasa maen blues dengan senar 0.011 di gitar ber-action tinggi dan scale length panjang (misalnya Fender’s 25.5″) bisa dipastikan punya kapalan yang lebih tebal daripada orang yang terbiasa maen blues dengan senar 0.008 di gitar yang beraction super rendah dan scale length pendek (misal Gibson Les Paul’s 24.75″).
Umumnya kapalan kita akan ‘naik tingkat’ kalo kita menaikkan 3 faktor yang berpengaruh terhadap string tension : ukuran senar, action dan scale length.
Workshop I
Ringkasan materi berdasarkan kasus yang diajukan saat Workshop I :
- Semua orang bisa bermain gitar, terlepas memulai dari umur berapapun. Untuk sampai mahir, umumnya berlaku prinsip 10.000 jam dengan fokus dan passion. Walaupun begitu ada banyak info shortcut untuk lebih memahami fretboard.
- Anggapan bahwa percuma mulai belajar gitar setelah umur 20 itu kurang tepat. 20 taun keatas (mungkin sampe ~60) umumnya punya banyak distraction untuk fokus, sehingga progress nya tidak sebaik kalau mulai dari remaja.
- Gunakan volume knob pada gitar untuk mengatur gain pada ampli. Gain kecil membuat definisi not saat comping n chordal playing terdengar lebih detil. Pada saat soloing, gain kecil memberikan ruang dinamika lebih lebar.
- Voice Leading, extension, inversi, shell dan CAGED system semuanya terhubung langsung dengan konsep soloing dan improvisasi, baik itu chordal maupun linear.
- Setelah beberapa tahun tidak bermain gitar, semua orang tetap bisa bluffing saat blues jamming. Double stops, repetisi dan bending 1/4 mungkin bisa membantu ujung jari tuk kembali berkenalan dengan tekanan senar.
- Jamming itu bukan tentang nunggu giliran solo. Rhythm dan kemampuan comping itu sangat dibutuhkan untuk bermain spontan bersama orang lain. Metronom bisa digunakan untuk berlatih menebak lokasi ketukan berikutnya.
- Yang paling penting, panjang jenggot tidak berpengaruh dengan musicalitas seseorang.
Untuk info lengkap tentang Workshop II silakan kunjungi https://www.facebook.com/dojogitar
Akord Yang Lebih Berkarakter bagian 8 [Altered Chords]
Pada tulisan sebelumnya telah diperkenalkan sekilas tentang advanced modal voicings yang bisa memberikan kita ide tak terbatas untuk membunyikan akord [dan juga untuk bermain licks]. Selanjutnya, explorasinya akan dilanjutkan ke wilayah non-diatonik, yaitu altered chords [akord altered]. Umumnya akord – akord ini dianggap akord – akordnya para jazzer, tapi jangan khawatir, sebenarnya teman – teman blueser dan rocker pun minimal pernah memainkan akord yang satu ini :Akord tersebut seringkali disebut ‘Hendrix Chord’ karena beliau sering menggunakannya. Secara teknis akord ini bernama E7#9, dalam penulisannya, not G di senar ke 2 ditulis dengan double kres, karena berasal dari not 9 [F#] yang dinaikan 1/2 step [Fx, enharmonis dengan G]. Jimi Hendrix sering menggunakan akord ini untuk bermain bluesy jam. Akord ini bisa digunakan untuk situasi bluesy jam karena #9 merupakan interval minor 3rd dari root, membuatnya berkarakter ambigu mempunyai 2 buah interval 3rd [maj 3rd dari karakter dominant dan min 3rd dari extensi #9]. Karakter ini cocok dengan karakter blues scale [silakan cek Blues Minor atau Blues Major?]. Selain bisa digunakan secara static [diam tanpa progresi, non functional harmony], akord altered juga bisa digunakan di tengah – tengah progresi [functional harmony], dalam konteks jazz, akord ini digunakan untuk menciptakan tension ketika dimainkan sebelum akord yang berbunyi lebih stabil [umumnya ke arah IV]. Sebenarnya akord dominant biasa pun telah memiliki karakter tension ini, tetapi dengan adanya altered note[s], karakternya menjadi lebih kuat untuk menyeret ke arah akord tonic [key center].
Semua akord altered mempunyai karakter tension yang sama – sama sangat kuat . Definisi akord altered :
Sebuah akord altered adalah sembarang akord dominant yang diubah interval 5th dan/atau 9th nya [dinaikkan atau diturunkan 1/2 step].
Pada root E, kita bisa menuliskan deretan daftarnya sesuai definisi diatas : E7aug, E7b5, E7#9, E7b9, E7#5#9, E7#5b9, E7b5#9, E7b5b9, semuanya mempunyai karakter tension yang sangat kuat ke arah akord A. Terkadang kita menjumpai sebuah istilah seperti ‘E alt’ pada sebuah chart akord. Hal ini berarti komposer menginginkan tension yang kuat pada akord E dominant, tapi tidak terlalu peduli terhadap akord E altered apa yang akan dimainkan.
- 1
- 2
- …
- 5
- Selanjutnya →